BAB I
”PEMBAHASAN”
Ø KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAH
TANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: ANALISIS
DATA SUSENAS
1999, 2002, DAN 2005
I.1 PENDAHULUAN
Sampai saat ini Indonesia
masih dihadapkan pada masalah kualitas SDM yang rendah, yang tercermin dari
rendahnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Indonesia di tahun 2006
masih menduduki peringkat ke-107 dari 177 negara dan berada jauh di bawah
negara-negara di Asia Tenggara lain seperti Singapura yang berada di peringkat
25, Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina yang
berada di peringkat 90.
Pangan dan gizi terkait sangat erat dengan upaya
peningkatan sumber daya manusia. Ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh
penduduk di suatu wilayah belumlah dapat digunakan sebagai jaminan akan
terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi, karena selain ketersediaan,
juga perlu diperhatikan aspek pola konsumsi atau keseimbangan kontribusi di
antara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga memenuhi standar gizi tertentu.
Kekurangan konsumsi gizi bagi seseorang dari standar minimum tersebut umumnya
akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja.
Dalam jangka panjang kekurangan konsumsi pangan dari sisi jumlah dan kualitas
(terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas SDM. Dalam hal
ini, kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk
melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam
pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara
terintegrasi (Moeloek, 1999). Lebih lanjut Irawan (2002) menyatakan bahwa
derajat ketahanan pangan rumah tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan
mengevaluasi asupan energi dan protein rumah tangga tersebut.
1.2 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis keragaan
konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga. Fakta bahwa sebagian
besar penduduk Indonesia tinggal di perdesaan (56,88% menurut data SUPAS 2005)
dan sebagian besar (63,52%) penduduk miskin berada di perdesaan (BPS, 2007) pentingnya analisis untuk difokuskan pada
daerah perdesaan. Dengan demikian, diharapkan dapat diambil langkah-langkah
kebijakan yang tepat dalam upaya peningkatan kualitas gizi dan SDM masyarakat
di perdesaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Metabolisme Mineral
Energi dan protein digunakan sebagai indikator
status gizi karena peng-gunaan nilai kalori (energi) dan nilai protein sudah
cukup untuk menggambar-kan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori
terkait erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif sedangkan
konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak pada usia
dewasa atau untuk menjamin pertumbuhan normal pada usia muda (Malassis
dan Ghersi (1992) seperti dikutip Irawan (2002)). Namun demikian, bukan
hanya jumlahnya harus mencukupi, tetapi keanekaragaman pangan sumber
energi yang dikonsumsi tidak kalah juga pentingnya. Menurut Hardinsyah dan
Tambunan (2004) secara umum pola pangan yang baik adalah bila perbandingan
komposisi energi dari karbohidrat, protein dan lemak adalah 50-65 persen :
10-20 persen: 20-30 persen.
Tabel
1 dan 2 menunjukkan bahwa secara nasional asupan energi maupun protein rumah
tangga di perdesaan sudah mencapai stándar mínimum kecukupan energi dan protein
yang direkomendasikan dengan kecenderungan peningkatan konsumsi energi dan
protein dari tahun ke tahun selama periode 1999-2005, sejalan dengan proses
pemulihan kondisi perekonomian Indonesia yang sempat terpuruk karena krisis
ekonomi. Walaupun demikian, nampak bahwa pada kelompok rumah tangga
berpendapatan rendah konsumsi energi dan proteinnya masih di bawah stándar
mínimum kecukupan energi maupun protein. Di sisi lain, pada kelompok rumah
tangga berpendapatan tinggi terjadi kelebihan asupan energi maupun protein,
yang dapat menimbulkan penyakit-penyakit degeneratif seperti sindrom metabolik,
jantung, hipertensi, dan kegemukan (obesitas), sehingga kita dihadapkan pada
masalah gizi ganda.
Tabel 1. Konsumsi dan Kecukupan Energi Rumah
Tangga di Perdesaan menurut Wilayah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1999, 2002,
dan 2005
1999
|
2002
|
2005
|
|||||
Cakupan
|
Konsumsi
|
Kecu-
|
Konsumsi
|
Kecu-
|
Konsumsi
|
Kecu
|
|
(kkal/kap/
|
kupan
|
(kkal/kap/
|
kupan
|
(kkal/kap/
|
kupan
|
||
hari)
|
(%)
|
hari)
|
(%)
|
hari)
|
(%)
|
||
Kel.
Pendapatan
|
|||||||
- Rendah
|
1637,25
|
84,63
|
1769,83
|
91,54
|
1761,97
|
93,08
|
|
- Sedang
|
2058,99
|
104,87
|
2190,96
|
111,64
|
2237,73
|
114,66
|
|
- Tinggi
|
2488,76
|
124,80
|
2673,46
|
134,45
|
2723,88
|
136,16
|
|
Wilayah
|
|||||||
- Jawa
|
1890,16
|
96,38
|
2033,17
|
103,88
|
2034,21
|
104,33
|
|
- Luar Jawa
|
2048,47
|
104,44
|
2178,32
|
111,12
|
2221,59
|
114,51
|
|
Jenis
Pekerjaan
|
|||||||
- Pertanian
|
1978,74
|
100,36
|
2118,49
|
107,68
|
2158,26
|
110,42
|
|
- Nonpertanian
|
1972,58
|
101,35
|
2120,00
|
109,02
|
2124,51
|
110,20
|
|
Total Perdesaan
|
1976,25
|
100,76
|
2119,03
|
108,16
|
2144,67
|
110,33
|
Sumber: BPS, Susenas 1999,
2002, dan 2005 (diolah)
Lebih lanjut Tabel 1 dan
2 juga menunjukkan bahwa asupan dan kecukupan energi dan protein rumah tangga
perdesaan di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa. Masih melimpahnya sumber
makanan di wilayah luar Jawa di satu sisi, serta tingkat kepadatan penduduk
yang lebih tinggi di Jawa yang dihuni sekitar 60 persen penduduk Indonesia di
sisi lain menyebabkan ketersediaan makanan secara keseluruhan (dilihat dari
ketersediaan energi dan protein secara total) per kapita lebih tinggi di luar
Jawa.
Apabila dipilah menurut
jenis pekerjaannya, nampak bahwa konsumsi dan kecukupan energi dan protein
rumah tangga yang bermata pencaharian utama sebagai petani lebih rendah
daripada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di luar pertanian.
Nampaknya lapangan usaha pertanian relatif kurang dapat menjamin aksesibilitas
terhadap pangan dibandingkan lapangan usaha nonpertanian. Menteri Pertanian
Anton Apriyantono mensinyalir bahwa sekitar 70 persen penduduk miskin di
Indonesia adalah petani, terutama buruh tani yang jumlahnya sangat besar dan
memang rawan terhadap kemiskinan.
Tabel 2. Konsumsi dan Kecukupan
Protein Rumah Tangga di Perdesaan menurut Wilayah dan Kelompok Pendapatan,
Tahun 1999, 2002, dan 2005
1999
|
2002
|
2005
|
||||
Cakupan
|
Konsumsi
|
Kecu-
|
Konsumsi
|
Kecu-
|
Konsumsi
|
Kecu-
|
(gram/kap/
|
kupan
|
(gram/kap/
|
kupan
|
(gram/kap/
|
kupan
|
|
hari)
|
(%)
|
hari)
|
(%)
|
hari)
|
(%)
|
|
Kel.
Pendapatan
|
||||||
- Rendah
|
40,50
|
81,06
|
44,79
|
89,86
|
45,57
|
93,12
|
- Sedang
|
53,12
|
104,18
|
58,02
|
113,83
|
60,78
|
119,65
|
- Tinggi
|
67,34
|
129,58
|
75,25
|
145,08
|
78,48
|
150,21
|
Wilayah
|
||||||
- Jawa
|
49,16
|
96,06
|
54,50
|
106,45
|
56,13
|
109,90
|
- Luar Jawa
|
52,38
|
103,32
|
57,33
|
113,29
|
59,70
|
118,82
|
Jenis
Pekerjaan
|
||||||
- Pertanian
|
50,07
|
97,76
|
55,20
|
108,08
|
57,49
|
113,05
|
- Nonpertanian
|
52,16
|
103,31
|
57,92
|
114,82
|
59,35
|
118,28
|
Indonesia
|
50,92
|
100,01
|
56,17
|
110,50
|
58,24
|
115,16
|
Sumber: BPS, Susenas 1999,
2002, dan 2005 (diolah)
2.2 Proporsi Rumah Tangga Defisit Energi dan Protein
Berdasarkan acuan dari Depkes (1996) (BKP, 2008),
di mana tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein < 70 persen
dikategorikan sebagai defisit energi atau protein tingkat berat, tingkat
kecukupan konsumsi antara 70 - <80 persen sebagai defisit tingkat sedang,
dan tingkat kecukupan konsumsi antara 80 – <90 persen sebagai defisit
tingkat ringan maka secara umum Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa rumah tangga di
perdesaan Indonesia belum dapat dikategorikan sebagai defisit energi maupun
protein. Akan tetapi, Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa masih terdapat rumah
tangga yang defisit energi dan protein dalam proporsi yang cukup signifikan,
baik dalam kategori ringan, sedang, maupun berat, walaupun selama periode
1999-2005 cenderung menurun. Fokus perhatian hendaknya ditujukan pada rumah
tangga yang mengalami defisit energi ataupun protein pada tingkatan berat yang
pada tahun 2005 mencapai sekitar 11 persen dari rumah tangga yang ada di
perdesaan, atau sekitar 13,35 juta jiwa
Tingkat pendapatan yang
semakin tinggi akan semakin menjamin aksesibilitas rumah tangga terhadap
pangan. Namun demikian, Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga
yang relatif tinggi tidak sepenuhnya menjamin kecukupan energi dan protein
rumah tangga tersebut. Nampak bahwa pada kelompok rumah tangga berpendapatan
tinggi pun masih terdapat rumah tangga yang tergolong defisit energi dan
protein, walaupun dalam proporsi yang sangat kecil dibandingkan rumah tangga
berpendapatan rendah.
Nampak secara jelas bahwa proporsi rumah tangga
defisit energi dan protein di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa. Selain
ketersediaan pangan perkapita yang relatif rendah dibandingkan di luar Jawa.
Ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan ketimpangan
aksesibilitas terhadap pangan juga lebih tinggi di Jawa. Hal tersebut berakibat
tingginya proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein di Jawa, relatif
terhadap luar Jawa. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein relatif
lebih tinggi pada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di bidang
pertanian daripada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di luar
pertanian. Hal tersebut menunjukkan perlunya fokus perhatian ditujukan pada
upaya peningkatan kesejahteraan rumah tangga pertanian.
Tabel 3. Proporsi Rumah Tangga Defisit Energi di Perdesaan, Tahun
1999, 2002, dan 2005(%)
Cakupan
|
1999
|
2002
|
2005
|
|||||||
B
|
S
|
R
|
B
|
S
|
R
|
B
|
S
|
R
|
||
Kel.
Pendapatan
|
||||||||||
- Rendah
|
23,94
|
21,35
|
20,25
|
16,03
|
17,33
|
19,39
|
20,24
|
14,83
|
16,61
|
|
- Sedang
|
6,15
|
9,59
|
14,62
|
4,03
|
6,99
|
11,35
|
5,56
|
7,39
|
10,96
|
|
- Tinggi
|
2,81
|
4,08
|
7,53
|
1,40
|
2,50
|
5,12
|
2,85
|
3,27
|
5,87
|
|
Wilayah
|
||||||||||
- Jawa
|
14,53
|
15,70
|
17,16
|
9,62
|
12,24
|
15,23
|
11,45
|
11,48
|
14,86
|
|
- Luar Jawa
|
10,98
|
11,09
|
14,03
|
7,40
|
8,84
|
12,00
|
10,50
|
8,20
|
10,36
|
|
Jenis
Pekerjaan
|
||||||||||
- Pertanian
|
12,94
|
13,15
|
15,49
|
8,47
|
10,22
|
13,51
|
11,34
|
9,43
|
11,76
|
|
- Nonpertanian
|
12,10
|
13,25
|
15,42
|
8,01
|
10,25
|
12,97
|
10,22
|
9,71
|
12,86
|
|
Indonesia
|
12,60
|
13,19
|
15,46
|
8,30
|
10,23
|
13,32
|
10,89
|
9,54
|
12,20
|
Keterangan: B = Defisit berat:
< 70% AKE, S = Defisit sedang: 70% s/d <80% AKE, R = Defisit ringan: 80%
s/d <90% AKE
Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)
Tabel 4. Proporsi Rumah Tangga Defisit
Protein di Perdesaan, Tahun 1999, 2002, dan 2005 (%)
Cakupan
|
1999
|
2002
|
2005
|
|||||||
B
|
S
|
R
|
B
|
S
|
R
|
B
|
S
|
R
|
||
Kel.
Pendapatan
|
||||||||||
- Rendah
|
30,95
|
20,78
|
18,81
|
19,90
|
17,17
|
18,53
|
21,82
|
14,15
|
15,42
|
|
- Sedang
|
7,46
|
10,21
|
14,24
|
4,15
|
6,69
|
10,58
|
5,06
|
5,67
|
9,49
|
|
- Tinggi
|
2,74
|
4,24
|
6,37
|
1,09
|
1,99
|
3,45
|
2,02
|
2,05
|
4,10
|
|
Wilayah
|
||||||||||
- Jawa
|
17,77
|
15,14
|
15,89
|
10,76
|
11,48
|
13,94
|
11,06
|
9,84
|
12,79
|
|
- Luar Jawa
|
14,36
|
11,65
|
13,32
|
9,20
|
8,88
|
11,23
|
11,22
|
7,29
|
9,39
|
|
Jenis
Pekerjaan
|
||||||||||
- Pertanian
|
17,70
|
13,53
|
14,65
|
10,85
|
10,53
|
12,92
|
12,41
|
8,69
|
10,86
|
|
- Nonpertanian
|
13,29
|
12,82
|
14,27
|
8,02
|
8,88
|
11,29
|
9,29
|
7,83
|
10,68
|
|
Indonesia
|
15,91
|
13,24
|
14,50
|
9,84
|
9,94
|
12,33
|
11,15
|
8,34
|
10,78
|
Keterangan: B = Defisit berat:
< 70% AKP, S = Defisit sedang: 70% s/d <80% AKP, R = Defisit ringan: 80%
s/d <90% AKP
Sumber: BPS, Susenas 1999,
2002, dan 2005 (diolah)
2.3 Proporsi Jenis Pangan Terhadap Konsumsi Energi dan Protein
Tabel 5 menunjukkan bahwa
beras yang merupakan pangan pokok utama bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di perdesaan, sementara
kontribusi pangan pokok lainnya seperti jagung dan ubikayu sangat kecil. Ariani
(2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik
dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias
pada beras, termasuk diantaranya kebijakan ‘raskin’. Kebijakan yang bias pada
beras ini berdampak pada pergeseran pola konsumsi pangan pokok, dari jagung
atau umbi-umbian ke beras.
Tabel 5. Konsumsi Energi Rumah Tangga di Perdesaan
menurut Jenis Pangan, Tahun 1999, 2002, dan 2005
1999
|
2002
|
2005
|
|||||
Jenis Pangan
|
Konsumsi
|
Proporsi
|
Konsumsi
|
Proporsi
|
Konsumsi
|
Proporsii
|
|
(kkal/kap/
|
(%)
|
(kkal/kap/
|
(%)
|
(kkal/kap/
|
(%)
|
||
hari)
|
hari)
|
hari)
|
|||||
- Beras
|
1135,16
|
57,44
|
1115,36
|
52,64
|
1086,64
|
50,67
|
|
- Jagung
|
40,85
|
2,07
|
47,28
|
2,23
|
41,17
|
1,92
|
|
- Ubi kayu
|
56,32
|
2,85
|
57,47
|
2,71
|
52,10
|
2,43
|
|
- Mi
|
7,71
|
0,39
|
11,89
|
0,56
|
35,13
|
1,64
|
|
- Pangan lain
|
736,21
|
37,25
|
887,03
|
41,86
|
929,63
|
43,35
|
|
Total
|
1976,25
|
100,00
|
2119,03
|
100,00
|
2144,67
|
100,00
|
|
Sumber: BPS, Susenas 1999,
2002, dan 2005 (diolah)
Upaya diversifikasi pangan di Indonesia dinilai
gagal karena ketergan-tungan terhadap beras masih tinggi meskipun potensi bahan
pangan lain sangat besar. Hal ini nampak dari kecenderungan penurunan konsumsi
pangan pokok lokal lain seperti jagung dan ubi kayu. Di sisi lain, konsumsi mi
dan bahan pangan lain yang berbahan baku terigu (gandum) yang merupakan bahan
pangan impor cenderung semakin meningkat. Hasil kajian Martianto dan Ariani
(2005) menyebutkan bahwa telah terjadi pergeseran pola konsumsi pangan pokok,
khususnya di wilayah perkotaan dan masyarakat berpendapatan sedang dan tinggi
dimana peran jagung dan umbi-umbian sebagai pangan pokok kedua setelah beras
digantikan oleh mi. Demikian pula hasil kajian Hasibuan (2001) menyimpulkan
bahwa mi instan berpotensi sebagai makanan sumber energi kedua setelah beras,
tetapi belum berkedudukan sebagai makanan sumber energi pengganti beras.
Mengingat bahan baku mi berasal dari gandum yang bukan merupakan produksi
domestik, maka diperlukan upaya-upaya khusus untuk menekan laju peningkatan
konsumsi mi dan produk-produk yang berbahan baku gandum/terigu lainnya dengan
meningkatkan ketersediaan pangan substitusi gandum/terigu bersumber pangan
lokal, disertai dengan promosi dan advokasi kepada masyarakat tentang keunggulan
pangan lokal.
Tabel 6 menunjukkan bahwa beras juga menjadi
sumber protein utama bagi rumah tangga di daerah perdesaan, walaupun selama
periode 1999 – 2005 proporsinya menunjukkan penurunan dari sekitar 52,14 persen
pada tahun 1999 menjadi 43,61 pada tahun 2005. Sementara itu, kontribusi
kedelai dan produk-produk olahannya yang merupakan pangan sumber protein nabati
pada tahun 2005 sekitar 7,72 persen, meningkat dari tahun 1999 yang hanya
sekitar 6,94 persen. Seiring dengan menurunnya proporsi protein yang berasal
dari beras, proporsi protein yang berasal dari bahan pangan hewani menunjukkan
kenaikan, dari sekitar 17,42 persen pada tahun 1999 menjadi 22,37 persen pada
tahun 2005, dengan proporsi terbesar berasal dari protein ikan. Jika dilihat
proporsinya, maka proporsi protein asal bahan pangan hewani tersebut sudah
memenuhi proporsi yang direkomendasikan. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004)
guna memperoleh mutu protein dan mutu zat gizi mikro yang baik, paling tidak
seperlima (20%) AKP dipenuhi dari protein hewani.
Walaupun secara umum proporsi protein yang
berasal dari bahan pangan hewani sudah mencapai angka yang direkomendasikan,
namun hasil kajian Ariningsih (2002) menunjukkan bahwa pada rumah tangga
berpendapatan rendah di perdesaan konsumsi protein yang bersumber dari bahan
pangan nabati masih sangat dominan. Ditinjau dari aspek mutu gizi,
ketergantungan yang tinggi terhadap protein nabati kurang baik karena kurang
lengkapnya kandungan asam amino esensial protein nabati. Penduduk dengan pola
konsumsi pangan tinggi serealia dan kurang beragam, serta konsumsi pangan
hewani yang rendah seperti di Indonesia umumnya mengalami defisit beberapa asam
amino dalam menu makanannya. Lima asam amino esensial yang sering defisit dalam
pola konsumsi pangan di Indonesia adalah lisin, treonin, triptofan, dan asam
amino yang mengandung sulfur, yaitu sistin dan metionin. Hal tersebut menjadi
masalah karena kekuranglengkapan asam amino esensial dalam pangan akan
menyebabkan mutu cerna ( digestibility ) dan daya manfaat (utilizable)
protein yang dikonsumsi menjadi rendah (Muhilal et al., 1993). Di
samping itu, sisa-sisa (racun)
Tabel 6.
Konsumsi Protein Rumah Tangga di Perdesaan menurut Jenis Pangan, Tahun 1999,
2002, dan 2005
1999
|
2002
|
2005
|
|||||
Jenis Pangan
|
Konsumsi
|
Proporsi
|
Konsumsi
|
Proporsi
|
Konsumsi
|
Proporsi
|
|
(gram/kap/
|
(%)
|
(gram/kap/
|
(%)
|
(gram/kap/
|
(%)
|
||
hari)
|
hari)
|
hari)
|
|||||
- Beras
|
26,55
|
52,14
|
26,08
|
46,42
|
25,39
|
43,61
|
|
- Kedelai
|
3,53
|
6,94
|
4,37
|
7,78
|
4,49
|
7,72
|
|
- Daging ternak
|
0,96
|
1,89
|
1,51
|
2,68
|
1,88
|
3,23
|
|
- Ikan
|
6,82
|
13,39
|
8,23
|
14,65
|
9,11
|
15,65
|
|
- Telur
|
0,89
|
1,75
|
1,35
|
2,40
|
1,57
|
2,69
|
|
- Susu
|
0,20
|
0,40
|
0,32
|
0,57
|
0,47
|
0,81
|
|
- Pangan lain
|
11,97
|
23,51
|
14,31
|
25,48
|
15,33
|
26,32
|
|
Total
|
50,92
|
100,00
|
56,17
|
100,00
|
58,24
|
100,00
|
Sumber: BPS, Susenas 1999,
2002, dan 2005 (diolah)
Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi V (LIPI, 1994) memberikan rekomendasi bahwa untuk mencapai mutu
gizi konsumsi pangan yang baik, dari kecukupan konsumsi protein rata-rata per
kapita per hari hendaknya 15 gram diantaranya dipenuhi dari pangan hewani,
dengan perincian 9 gram dari protein ikan dan 6 gram dari protein ternak.
Rekomendasi ini didasarkan pada keunggulan-keunggulan yang dimiliki protein
hewani dibandingkan protein nabati, yaitu: (1) mempunyai komposisi asam amino
yang lebih lengkap, (2) mengandung vitamin yang mudah diserap, (3) mengandung
zat besi (haem) yang mudah diserap, dan (4) nilai cerna protein dan zat
besi lebih baik daripada bahan pangan nabati. Protein hewani dalam pangan
merupakan bagian yang sangat penting karena sifatnya yang tidak mudah diganti (indispersible).
Di samping itu, protein hewani bahkan merupakan pembawa sifat keturunan dari
generasi ke generasi dan berperan pula dalam proses perkembangan kecerdasan
manusia. Oleh sebab itu, protein hewani dipandang dari sudut peranannya layak
dianggap sebagai agent of development bagi pembangunan bangsa,
baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang (Soehadji, 1994).
Ditinjau dari acuan
tersebut, Tabel 7 menunjukkan bahwa walaupun secara total konsumsi protein di
Indonesia sudah melampaui jumlah yang direkomendasikan, terlihat bahwa konsumsi
protein hewani masih rendah. Dari konsumsi protein hewani sebanyak 15 gram per
kapita sehari yang direkomendasikan, pada tahun 1999 hanya sekitar 59,13 persen
dari rekomendasi tersebut yang terpenuhi, yang pada tahun 2005 meningkat
menjadi 86,87 persen. Rendahnya konsumsi protein hewani tersebut terkait erat
dengan harga pangan hewani yang relatif mahal dibandingkan dengan pangan
nabati. Oleh karena itu, faktor daya beli sangat menentukan tingkat konsumsi
pangan hewani, dimana semakin tinggi pendapatan maka konsumsi pangan hewani
cenderung semakin tinggi
1999
|
2002
|
2005
|
||||
Cakupan
|
Konsumsi
|
Kecu-
|
Konsumsi
|
Kecu-
|
Konsumsi
|
Kecu-
|
(gram/kap/
|
kupan
|
(gram/kap/
|
kupan
|
(gram/kap/
|
kupan
|
|
hari)
|
(%)
|
hari)
|
(%)
|
hari)
|
(%)
|
|
Kel.
Pendapatan
|
||||||
- Rendah
|
5,21
|
34,73
|
6,84
|
45,60
|
7,73
|
51,53
|
- Sedang
|
9,36
|
62,40
|
11,68
|
77,87
|
13,65
|
91,00
|
- Tinggi
|
15,22
|
101,47
|
19,98
|
133,20
|
22,42
|
149,47
|
Wilayah
|
||||||
- Jawa
|
5,77
|
38,47
|
7,72
|
51,47
|
9,47
|
63,13
|
- Luar Jawa
|
11,48
|
76,53
|
13,96
|
93,07
|
15,52
|
103,47
|
Jenis
Pekerjaan
|
||||||
- Pertanian
|
8,41
|
56,07
|
10,80
|
72,00
|
12,60
|
84,00
|
- Nonpertanian
|
9,55
|
63,67
|
12,49
|
83,27
|
13,67
|
91,13
|
Total
|
8,87
|
59,13
|
11,41
|
76,07
|
13,03
|
86,87
|
Sumber: BPS, Susenas 1999,
2002, dan 2005 (diolah)
Apabila dibandingkan antara Jawa dan luar Jawa,
nampak bahwa tingkat konsumsi protein hewani di Jawa jauh lebih rendah daripada
di luar Jawa. Hasil kajian Ariningsih (2002) menunjukkan bahwa tingginya
konsumsi protein hewani di luar Jawa tersebut bersumber dari tingginya konsumsi
ikan. Di Jawa, tingkat konsumsi protein ikan jauh lebih rendah daripada di luar
Jawa, sementara tingkat konsumsi protein hasil ternak (daging, telur, dan susu)
lebih tinggi di Jawa. Rendahnya konsumsi ikan di Jawa disebabkan penduduk Jawa
menganut tradisi tani yang hampir tak kenal ikan (Hardjana, 1994), di samping
tingkat ketersediaan ikan di Jawa yang jauh lebih rendah daripada di luar Jawa.
Nikijuluw (1998) menunjukkan bahwa Jawa yang mempunyai populasi sekitar 60
persen dari populasi nasional hanya menyumbang sekitar 20 persen dari total
produksi ikan nasional, sementara di daerah kawasan timur Indonesia yang
populasinya hanya 15 persen dari populasi nasional memberikan sumbangan lebih
dari 30 persen dari produksi ikan nasional. Oleh karena itu, diperlukan
upaya-upaya untuk mendis-tribusikan ketersediaan ikan secara proporsional dalam
upaya meningkatkan konsumsi ikan masyarakat Indonesia, khususnya yang berada di
Pulau Jawa.
Konsisten dengan konsumsi
total protein yang lebih rendah, konsumsi protein hewani juga lebih rendah pada
rumah tangga pertanian dibandingkan rumah tangga nonpertanian. Hal ini semakin
menguatkan fakta bahwa sebagian besar rumah tangga miskin merupakan rumah
tangga pertanian.
2.4 Upaya Peningkatan Konsumsi Energi dan Protein dan Kaitannya
dengan Kualitas SDM
Dari uraian di atas
nampak bahwa masalah-masalah utama dalam konsumsi energi dan protein adalah
tidak tercukupinya standar kecukupan minimum baik energi maupun protein pada
rumah tangga berpendapatan rendah, sehingga pada kelompok ini masih terdapat
banyak rumah tangga yang defisit energi maupun protein, ketergantungan yang
tinggi pada beras sebagai sumber energi maupun protein, dan masih sangat
rendahnya konsumsi pangan hewani yang sangat penting peranannya dalam upaya
peningkatan kualitas SDM.
Kunci permasalahan-permasalahan tersebut terletak
pada rendahnya pendapatan rumah tangga, oleh karena itu program-program
pemerintah hendaknya diarahkan pada program-program perluasan kesempatan kerja
dan peningkatan pendapatan rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan
bahan pangan yang berkualitas (khususnya pangan hewani) dan terdistribusi
dengan merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, serta penyuluhan
tentang masalah gizi perlu terus diupayakan.
Mengingat relatif tingginya proporsi rumah tangga
defisit energi dan protein di daerah perdesaan, maka penanganan masalah
pelaksanaan pembangunan nasional khususnya pemantapan ketahanan pangan perlu
lebih memprioritaskan daerah perdesaan agar kesenjangan antara desa - kota
tidak semakin melebar.
BAB III
Kesimpulan
Secara nasional asupan energi maupun protein
rumah tangga di perdesaan sudah mencapai stándar mínimum kecukupan energi dan
protein yang direkomendasikan dengan kecenderungan peningkatan selama periode
1999-2005. Walaupun demikian, pada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah
konsumsi energi dan proteinnya masih di bawah stándar mínimum kecukupan energi maupun
protein. Konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga perdesaan di
Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa, sementara konsumsi dan kecukupan
energi dan protein rumah tangga pertanian lebih rendah daripada rumah tangga
nonpertanian.
Proporsi rumah tangga
defisit energi maupun protein di daerah perdesaan masih relatif tinggi,
khususnya pada rumah tangga berpendapatan rendah. Proporsi rumah tangga defisit
energi maupun protein lebih tinggi di Jawa daripada di luar Jawa, lebih tinggi
pada rumah tangga pertanian daripada rumah tangga nonpertanian.
Beras masih menjadi sumber utama energi dan
protein rumah tangga di perdesaan, sementara konsumsi protein hewani masih
rendah, sehingga masih di bawah konsumsi protein hewani yang direkomendasikan.
Konsumsi dan kecukupan protein hewani rumah tangga perdesaan di Jawa lebih
rendah daripada di luar Jawa, sementara konsumsi dan kecukupan protein hewani
rumah tangga pertanian lebih rendah daripada rumah tangga nonpertanian.
Implikasi Kebijakan
Kunci permasalahan-permasalahan terkait
ketidakcukupan konsumsi energi dan protein terletak pada rendahnya pendapatan
rumah tangga, oleh karena itu program-program pemerintah hendaknya diarahkan
pada program-program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan
rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas
(khususnya pangan hewani) dan terdistribusi dengan merata dengan harga yang
terjangkau oleh masyarakat, serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus
diupayakan
Mengingat relatif tingginya proporsi rumah tangga
defisit energi dan protein di daerah perdesaan, maka penanganan masalah
pelaksanaan pembangunan nasional khususnya pemantapan ketahanan pangan perlu
lebih memprioritaskan daerah perdesaan agar kesenjangan antara desa - kota
tidak semakin melebar.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M. 2004. Analisis Perkembangan
Konsumsi Pangan dan Gizi. ICASERD Working Paper No. 67.
Ariningsih, E. 2002. Perilaku
Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati Sebelum dan Pada Masa Krisis
Ekonomi di Jawa. Tesis Magister Sains. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Ketahanan
Pangan, 2008. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Badan Ketahanan Pangan,
Departemen Pertanian, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2007.
Berita Resmi Statistik No. 38/07/Th. X.2007. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004.
Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Dalam
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII ”Ketahanan Pangan dan Gizi di Era
Otonomi Daerah dan Globalisasi”. Jakarta, 17-19 Mei 2004.
Hardjana, A.A. 1994. Orientasi
Perilaku Konsumen Tentang Masalah Pangan dan Gizi dari Sumber Hayati Kelautan. Dalam
M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V.
Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Hasibuan, A.R. 2001. Perilaku
Konsumen Mi Instan Dalam Upaya Mengurangi Ketergantungan Terhadap Makanan Pokok
Beras di Yogyakarta. agrUMY IX (2): 98-104.
Irawan, B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori
dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1): 25-47
Jahari, A.B dan I. Sumarno. 2002. Status Gizi
Penduduk Indonesia. Majalah Pangan No. 38/XI/Jan/2002: 20-29.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1994.
Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Martianto, D dan M. Ariani. 2005.
Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia Dalam
Dekade Terakhir. Info Pangan dan Gizi. Edisi Khusus. Vol XV No. 2. Direktorat
Gizi Masyarakat, Ditjen Bina Gizi Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehata,
Jakarta.
Moeloek, F.A. 1999. Gizi Sebagai
Basis Pengembangan Sumber daya Manusia Menuju Indonesia Sehat 2000. Dalam
Pengembangan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. Persatuan
Peminat Pangan dan Gizi dan Center for Regional Resources Development and
Community Empowerment, Jakarta.
Muhilal, I. Jus’at, H.M. Anwar,
F. Djalal, dan Ig. Tarwotjo. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Dalam
M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V.
Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Nikijuluw, V.P.H. 1998. Permintaan dan
Penawaran Ikan Serta Implikasinya Bagi Pembangunan Perikanan. Agro Ekonomika,
16(2): 10-18.
Simatupang, P. dan M. Ariani. 1997. Hubungan
Antara Pendapatan Rumah Tangga dan Pergeseran Preferensi Terhadap Pangan.
Majalah Pangan No. 33 Vol. IX.
Soehadji. 1994.
Tanggapan dan Pembahasan Makalah Prof. Dr. Michael Crawford, Prof. Dr.
Boedhi-Darmojo, dan Prof Dr. Soekirman. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.).
Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar