kpk

kpk
Gambar ini diambil saat penyambutan di poltekkes kemenkes bengkulu yang dihadiri seluruh jurusan perawat, kebidan, gizi, analis kesehatan, dan kesehatan lingkungan. lomba LKTI pertama yang dimenangkan jurusan gizi dan sekaligus poltekkes kemenkkes bengkulu semoga ada juara-juara yang akan datang yang akan tetap mengharumkan nama baik poltekkes kemenkes bengkulu. Amin. Mahasiswa Gizi foto bareng dengan direktur poltekkes bengkulu (sebelah kiri) dan Ketua Jurusan Gizi (pojok sebelah kanan), dan disebelahnya, kaprodi D4 gizi dan dilanjutkan dengan dosen pembimbing yang membimbing ketiga mahasiswa...

Jumat, 18 Juli 2014

Tugas SKP kevin


BAB I
”PEMBAHASAN”
Ø  KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAH   
      TANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: ANALISIS DATA SUSENAS   
      1999, 2002, DAN 2005
I.1   PENDAHULUAN
Sampai saat ini Indonesia masih dihadapkan pada masalah kualitas SDM yang rendah, yang tercermin dari rendahnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Indonesia di tahun 2006 masih menduduki peringkat ke-107 dari 177 negara dan berada jauh di bawah negara-negara di Asia Tenggara lain seperti Singapura yang berada di peringkat 25, Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina yang berada di peringkat 90.
Pangan dan gizi terkait sangat erat dengan upaya peningkatan sumber daya manusia. Ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu wilayah belumlah dapat digunakan sebagai jaminan akan terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi, karena selain ketersediaan, juga perlu diperhatikan aspek pola konsumsi atau keseimbangan kontribusi di antara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga memenuhi standar gizi tertentu. Kekurangan konsumsi gizi bagi seseorang dari standar minimum tersebut umumnya akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang kekurangan konsumsi pangan dari sisi jumlah dan kualitas (terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas SDM. Dalam hal ini, kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999). Lebih lanjut Irawan (2002) menyatakan bahwa derajat ketahanan pangan rumah tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan mengevaluasi asupan energi dan protein rumah tangga tersebut.
 1.2  Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis keragaan konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga. Fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di perdesaan (56,88% menurut data SUPAS 2005) dan sebagian besar (63,52%) penduduk miskin berada di perdesaan (BPS, 2007)  pentingnya analisis untuk difokuskan pada daerah perdesaan. Dengan demikian, diharapkan dapat diambil langkah-langkah kebijakan yang tepat dalam upaya peningkatan kualitas gizi dan SDM masyarakat di perdesaan.























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Metabolisme Mineral
Energi dan protein digunakan sebagai indikator status gizi karena peng-gunaan nilai kalori (energi) dan nilai protein sudah cukup untuk menggambar-kan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori terkait erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif sedangkan konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak pada usia dewasa atau untuk menjamin pertumbuhan normal pada usia muda (Malassis dan Ghersi (1992) seperti dikutip Irawan (2002)). Namun demikian, bukan hanya jumlahnya harus mencukupi, tetapi keanekaragaman pangan sumber energi yang dikonsumsi tidak kalah juga pentingnya. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) secara umum pola pangan yang baik adalah bila perbandingan komposisi energi dari karbohidrat, protein dan lemak adalah 50-65 persen : 10-20 persen: 20-30 persen.
Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa secara nasional asupan energi maupun protein rumah tangga di perdesaan sudah mencapai stándar mínimum kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dengan kecenderungan peningkatan konsumsi energi dan protein dari tahun ke tahun selama periode 1999-2005, sejalan dengan proses pemulihan kondisi perekonomian Indonesia yang sempat terpuruk karena krisis ekonomi. Walaupun demikian, nampak bahwa pada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah konsumsi energi dan proteinnya masih di bawah stándar mínimum kecukupan energi maupun protein. Di sisi lain, pada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi terjadi kelebihan asupan energi maupun protein, yang dapat menimbulkan penyakit-penyakit degeneratif seperti sindrom metabolik, jantung, hipertensi, dan kegemukan (obesitas), sehingga kita dihadapkan pada masalah gizi ganda.





Tabel 1. Konsumsi dan Kecukupan Energi Rumah Tangga di Perdesaan menurut Wilayah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1999, 2002, dan 2005


1999

2002

2005










Cakupan
Konsumsi
Kecu-
Konsumsi
Kecu-
Konsumsi
Kecu


(kkal/kap/
kupan
(kkal/kap/
kupan
(kkal/kap/
kupan


hari)
(%)
hari)
(%)
hari)
(%)

Kel. Pendapatan







- Rendah
1637,25
84,63
1769,83
91,54
1761,97
93,08

- Sedang
2058,99
104,87
2190,96
111,64
2237,73
114,66

- Tinggi
2488,76
124,80
2673,46
134,45
2723,88
136,16

Wilayah







- Jawa
1890,16
96,38
2033,17
103,88
2034,21
104,33

- Luar Jawa
2048,47
104,44
2178,32
111,12
2221,59
114,51

Jenis Pekerjaan







- Pertanian
1978,74
100,36
2118,49
107,68
2158,26
110,42

- Nonpertanian
1972,58
101,35
2120,00
109,02
2124,51
110,20









Total Perdesaan
1976,25
100,76
2119,03
108,16
2144,67
110,33

Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)
Lebih lanjut Tabel 1 dan 2 juga menunjukkan bahwa asupan dan kecukupan energi dan protein rumah tangga perdesaan di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa. Masih melimpahnya sumber makanan di wilayah luar Jawa di satu sisi, serta tingkat kepadatan penduduk yang lebih tinggi di Jawa yang dihuni sekitar 60 persen penduduk Indonesia di sisi lain menyebabkan ketersediaan makanan secara keseluruhan (dilihat dari ketersediaan energi dan protein secara total) per kapita lebih tinggi di luar Jawa.
Apabila dipilah menurut jenis pekerjaannya, nampak bahwa konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga yang bermata pencaharian utama sebagai petani lebih rendah daripada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di luar pertanian. Nampaknya lapangan usaha pertanian relatif kurang dapat menjamin aksesibilitas terhadap pangan dibandingkan lapangan usaha nonpertanian. Menteri Pertanian Anton Apriyantono mensinyalir bahwa sekitar 70 persen penduduk miskin di Indonesia adalah petani, terutama buruh tani yang jumlahnya sangat besar dan memang rawan terhadap kemiskinan.

Tabel 2. Konsumsi dan Kecukupan Protein Rumah Tangga di Perdesaan menurut Wilayah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1999, 2002, dan 2005

1999

2002

2005








Cakupan
Konsumsi
Kecu-
Konsumsi
Kecu-
Konsumsi
Kecu-

(gram/kap/
kupan
(gram/kap/
kupan
(gram/kap/
kupan

hari)
(%)
hari)
(%)
hari)
(%)







Kel. Pendapatan






- Rendah
40,50
81,06
44,79
89,86
45,57
93,12
- Sedang
53,12
104,18
58,02
113,83
60,78
119,65
- Tinggi
67,34
129,58
75,25
145,08
78,48
150,21
Wilayah






- Jawa
49,16
96,06
54,50
106,45
56,13
109,90
- Luar Jawa
52,38
103,32
57,33
113,29
59,70
118,82
Jenis Pekerjaan






- Pertanian
50,07
97,76
55,20
108,08
57,49
113,05
- Nonpertanian
52,16
103,31
57,92
114,82
59,35
118,28







Indonesia
50,92
100,01
56,17
110,50
58,24
115,16

Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)

2.2 Proporsi Rumah Tangga Defisit Energi dan Protein

Berdasarkan acuan dari Depkes (1996) (BKP, 2008), di mana tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein < 70 persen dikategorikan sebagai defisit energi atau protein tingkat berat, tingkat kecukupan konsumsi antara 70 - <80 persen sebagai defisit tingkat sedang, dan tingkat kecukupan konsumsi antara 80 – <90 persen sebagai defisit tingkat ringan maka secara umum Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan Indonesia belum dapat dikategorikan sebagai defisit energi maupun protein. Akan tetapi, Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa masih terdapat rumah tangga yang defisit energi dan protein dalam proporsi yang cukup signifikan, baik dalam kategori ringan, sedang, maupun berat, walaupun selama periode 1999-2005 cenderung menurun. Fokus perhatian hendaknya ditujukan pada rumah tangga yang mengalami defisit energi ataupun protein pada tingkatan berat yang pada tahun 2005 mencapai sekitar 11 persen dari rumah tangga yang ada di perdesaan, atau sekitar 13,35 juta jiwa
Tingkat pendapatan yang semakin tinggi akan semakin menjamin aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan. Namun demikian, Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga yang relatif tinggi tidak sepenuhnya menjamin kecukupan energi dan protein rumah tangga tersebut. Nampak bahwa pada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi pun masih terdapat rumah tangga yang tergolong defisit energi dan protein, walaupun dalam proporsi yang sangat kecil dibandingkan rumah tangga berpendapatan rendah.
Nampak secara jelas bahwa proporsi rumah tangga defisit energi dan protein di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa. Selain ketersediaan pangan perkapita yang relatif rendah dibandingkan di luar Jawa. Ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan ketimpangan aksesibilitas terhadap pangan juga lebih tinggi di Jawa. Hal tersebut berakibat tingginya proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein di Jawa, relatif terhadap luar Jawa. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein relatif lebih tinggi pada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di bidang pertanian daripada rumah tangga yang bermata pencaharian utama di luar pertanian. Hal tersebut menunjukkan perlunya fokus perhatian ditujukan pada upaya peningkatan kesejahteraan rumah tangga pertanian.









Tabel 3. Proporsi Rumah Tangga Defisit Energi di Perdesaan, Tahun 1999, 2002, dan 2005(%)
Cakupan

1999


2002


2005












B
S
R
B
S
R
B
S
R














Kel. Pendapatan










- Rendah
23,94
21,35
20,25
16,03
17,33
19,39
20,24
14,83
16,61

- Sedang
6,15
9,59
14,62
4,03
6,99
11,35
5,56
7,39
10,96

- Tinggi
2,81
4,08
7,53
1,40
2,50
5,12
2,85
3,27
5,87

Wilayah










- Jawa
14,53
15,70
17,16
9,62
12,24
15,23
11,45
11,48
14,86

- Luar Jawa
10,98
11,09
14,03
7,40
8,84
12,00
10,50
8,20
10,36

Jenis Pekerjaan










- Pertanian
12,94
13,15
15,49
8,47
10,22
13,51
11,34
9,43
11,76

- Nonpertanian
12,10
13,25
15,42
8,01
10,25
12,97
10,22
9,71
12,86












Indonesia
12,60
13,19
15,46
8,30
10,23
13,32
10,89
9,54
12,20


Keterangan: B = Defisit berat: < 70% AKE, S = Defisit sedang: 70% s/d <80% AKE, R = Defisit ringan: 80% s/d <90% AKE
Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)

Tabel 4. Proporsi Rumah Tangga Defisit Protein di Perdesaan, Tahun 1999, 2002, dan 2005 (%)
Cakupan

1999


2002


2005












B
S
R
B
S
R
B
S
R














Kel. Pendapatan










- Rendah
30,95
20,78
18,81
19,90
17,17
18,53
21,82
14,15
15,42

- Sedang
7,46
10,21
14,24
4,15
6,69
10,58
5,06
5,67
9,49

- Tinggi
2,74
4,24
6,37
1,09
1,99
3,45
2,02
2,05
4,10

Wilayah










- Jawa
17,77
15,14
15,89
10,76
11,48
13,94
11,06
9,84
12,79

- Luar Jawa
14,36
11,65
13,32
9,20
8,88
11,23
11,22
7,29
9,39

Jenis Pekerjaan










- Pertanian
17,70
13,53
14,65
10,85
10,53
12,92
12,41
8,69
10,86

- Nonpertanian
13,29
12,82
14,27
8,02
8,88
11,29
9,29
7,83
10,68

Indonesia
15,91
13,24
14,50
9,84
9,94
12,33
11,15
8,34
10,78


Keterangan: B = Defisit berat: < 70% AKP, S = Defisit sedang: 70% s/d <80% AKP, R = Defisit ringan: 80% s/d <90% AKP
Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)

2.3 Proporsi Jenis Pangan Terhadap Konsumsi Energi dan Protein
Tabel 5 menunjukkan bahwa beras yang merupakan pangan pokok utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di perdesaan, sementara kontribusi pangan pokok lainnya seperti jagung dan ubikayu sangat kecil. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan ‘raskin’. Kebijakan yang bias pada beras ini berdampak pada pergeseran pola konsumsi pangan pokok, dari jagung atau umbi-umbian ke beras.
Tabel 5. Konsumsi Energi Rumah Tangga di Perdesaan menurut Jenis Pangan, Tahun 1999, 2002, dan 2005

1999
2002
2005









Jenis Pangan
Konsumsi
Proporsi
Konsumsi
Proporsi
Konsumsi
Proporsii


(kkal/kap/
(%)
(kkal/kap/
(%)
(kkal/kap/
(%)


hari)
hari)
hari)






- Beras
1135,16
57,44
1115,36
52,64
1086,64
50,67

- Jagung
40,85
2,07
47,28
2,23
41,17
1,92

- Ubi kayu
56,32
2,85
57,47
2,71
52,10
2,43

- Mi
7,71
0,39
11,89
0,56
35,13
1,64

- Pangan lain
736,21
37,25
887,03
41,86
929,63
43,35









Total
1976,25
100,00
2119,03
100,00
2144,67
100,00


Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)

Upaya diversifikasi pangan di Indonesia dinilai gagal karena ketergan-tungan terhadap beras masih tinggi meskipun potensi bahan pangan lain sangat besar. Hal ini nampak dari kecenderungan penurunan konsumsi pangan pokok lokal lain seperti jagung dan ubi kayu. Di sisi lain, konsumsi mi dan bahan pangan lain yang berbahan baku terigu (gandum) yang merupakan bahan pangan impor cenderung semakin meningkat. Hasil kajian Martianto dan Ariani (2005) menyebutkan bahwa telah terjadi pergeseran pola konsumsi pangan pokok, khususnya di wilayah perkotaan dan masyarakat berpendapatan sedang dan tinggi dimana peran jagung dan umbi-umbian sebagai pangan pokok kedua setelah beras digantikan oleh mi. Demikian pula hasil kajian Hasibuan (2001) menyimpulkan bahwa mi instan berpotensi sebagai makanan sumber energi kedua setelah beras, tetapi belum berkedudukan sebagai makanan sumber energi pengganti beras. Mengingat bahan baku mi berasal dari gandum yang bukan merupakan produksi domestik, maka diperlukan upaya-upaya khusus untuk menekan laju peningkatan konsumsi mi dan produk-produk yang berbahan baku gandum/terigu lainnya dengan meningkatkan ketersediaan pangan substitusi gandum/terigu bersumber pangan lokal, disertai dengan promosi dan advokasi kepada masyarakat tentang keunggulan pangan lokal.
Tabel 6 menunjukkan bahwa beras juga menjadi sumber protein utama bagi rumah tangga di daerah perdesaan, walaupun selama periode 1999 – 2005 proporsinya menunjukkan penurunan dari sekitar 52,14 persen pada tahun 1999 menjadi 43,61 pada tahun 2005. Sementara itu, kontribusi kedelai dan produk-produk olahannya yang merupakan pangan sumber protein nabati pada tahun 2005 sekitar 7,72 persen, meningkat dari tahun 1999 yang hanya sekitar 6,94 persen. Seiring dengan menurunnya proporsi protein yang berasal dari beras, proporsi protein yang berasal dari bahan pangan hewani menunjukkan kenaikan, dari sekitar 17,42 persen pada tahun 1999 menjadi 22,37 persen pada tahun 2005, dengan proporsi terbesar berasal dari protein ikan. Jika dilihat proporsinya, maka proporsi protein asal bahan pangan hewani tersebut sudah memenuhi proporsi yang direkomendasikan. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) guna memperoleh mutu protein dan mutu zat gizi mikro yang baik, paling tidak seperlima (20%) AKP dipenuhi dari protein hewani.
Walaupun secara umum proporsi protein yang berasal dari bahan pangan hewani sudah mencapai angka yang direkomendasikan, namun hasil kajian Ariningsih (2002) menunjukkan bahwa pada rumah tangga berpendapatan rendah di perdesaan konsumsi protein yang bersumber dari bahan pangan nabati masih sangat dominan. Ditinjau dari aspek mutu gizi, ketergantungan yang tinggi terhadap protein nabati kurang baik karena kurang lengkapnya kandungan asam amino esensial protein nabati. Penduduk dengan pola konsumsi pangan tinggi serealia dan kurang beragam, serta konsumsi pangan hewani yang rendah seperti di Indonesia umumnya mengalami defisit beberapa asam amino dalam menu makanannya. Lima asam amino esensial yang sering defisit dalam pola konsumsi pangan di Indonesia adalah lisin, treonin, triptofan, dan asam amino yang mengandung sulfur, yaitu sistin dan metionin. Hal tersebut menjadi masalah karena kekuranglengkapan asam amino esensial dalam pangan akan menyebabkan mutu cerna ( digestibility ) dan daya manfaat (utilizable) protein yang dikonsumsi menjadi rendah (Muhilal et al., 1993). Di samping itu, sisa-sisa (racun)
Tabel 6. Konsumsi Protein Rumah Tangga di Perdesaan menurut Jenis Pangan, Tahun 1999, 2002, dan 2005

1999

2002

2005










Jenis Pangan
Konsumsi
Proporsi
Konsumsi
Proporsi
Konsumsi
Proporsi


(gram/kap/
(%)
(gram/kap/
(%)
(gram/kap/
(%)


hari)
hari)
hari)






- Beras
26,55
52,14
26,08
46,42
25,39
43,61

- Kedelai
3,53
6,94
4,37
7,78
4,49
7,72

- Daging ternak
0,96
1,89
1,51
2,68
1,88
3,23

- Ikan
6,82
13,39
8,23
14,65
9,11
15,65

- Telur
0,89
1,75
1,35
2,40
1,57
2,69

- Susu
0,20
0,40
0,32
0,57
0,47
0,81

- Pangan lain
11,97
23,51
14,31
25,48
15,33
26,32









Total
50,92
100,00
56,17
100,00
58,24
100,00


Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V (LIPI, 1994) memberikan rekomendasi bahwa untuk mencapai mutu gizi konsumsi pangan yang baik, dari kecukupan konsumsi protein rata-rata per kapita per hari hendaknya 15 gram diantaranya dipenuhi dari pangan hewani, dengan perincian 9 gram dari protein ikan dan 6 gram dari protein ternak. Rekomendasi ini didasarkan pada keunggulan-keunggulan yang dimiliki protein hewani dibandingkan protein nabati, yaitu: (1) mempunyai komposisi asam amino yang lebih lengkap, (2) mengandung vitamin yang mudah diserap, (3) mengandung zat besi (haem) yang mudah diserap, dan (4) nilai cerna protein dan zat besi lebih baik daripada bahan pangan nabati. Protein hewani dalam pangan merupakan bagian yang sangat penting karena sifatnya yang tidak mudah diganti (indispersible). Di samping itu, protein hewani bahkan merupakan pembawa sifat keturunan dari generasi ke generasi dan berperan pula dalam proses perkembangan kecerdasan manusia. Oleh sebab itu, protein hewani dipandang dari sudut peranannya layak dianggap sebagai agent of development bagi pembangunan bangsa, baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang (Soehadji, 1994).
Ditinjau dari acuan tersebut, Tabel 7 menunjukkan bahwa walaupun secara total konsumsi protein di Indonesia sudah melampaui jumlah yang direkomendasikan, terlihat bahwa konsumsi protein hewani masih rendah. Dari konsumsi protein hewani sebanyak 15 gram per kapita sehari yang direkomendasikan, pada tahun 1999 hanya sekitar 59,13 persen dari rekomendasi tersebut yang terpenuhi, yang pada tahun 2005 meningkat menjadi 86,87 persen. Rendahnya konsumsi protein hewani tersebut terkait erat dengan harga pangan hewani yang relatif mahal dibandingkan dengan pangan nabati. Oleh karena itu, faktor daya beli sangat menentukan tingkat konsumsi pangan hewani, dimana semakin tinggi pendapatan maka konsumsi pangan hewani cenderung semakin tinggi
















1999

2002

2005







Cakupan
Konsumsi
Kecu-
Konsumsi
Kecu-
Konsumsi
Kecu-

(gram/kap/
kupan
(gram/kap/
kupan
(gram/kap/
kupan

hari)
(%)
hari)
(%)
hari)
(%)
Kel. Pendapatan






- Rendah
5,21
34,73
6,84
45,60
7,73
51,53
- Sedang
9,36
62,40
11,68
77,87
13,65
91,00
- Tinggi
15,22
101,47
19,98
133,20
22,42
149,47
Wilayah






- Jawa
5,77
38,47
7,72
51,47
9,47
63,13
- Luar Jawa
11,48
76,53
13,96
93,07
15,52
103,47
Jenis Pekerjaan






- Pertanian
8,41
56,07
10,80
72,00
12,60
84,00
- Nonpertanian
9,55
63,67
12,49
83,27
13,67
91,13







Total
8,87
59,13
11,41
76,07
13,03
86,87

Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, dan 2005 (diolah)

 Apabila dibandingkan antara Jawa dan luar Jawa, nampak bahwa tingkat konsumsi protein hewani di Jawa jauh lebih rendah daripada di luar Jawa. Hasil kajian Ariningsih (2002) menunjukkan bahwa tingginya konsumsi protein hewani di luar Jawa tersebut bersumber dari tingginya konsumsi ikan. Di Jawa, tingkat konsumsi protein ikan jauh lebih rendah daripada di luar Jawa, sementara tingkat konsumsi protein hasil ternak (daging, telur, dan susu) lebih tinggi di Jawa. Rendahnya konsumsi ikan di Jawa disebabkan penduduk Jawa menganut tradisi tani yang hampir tak kenal ikan (Hardjana, 1994), di samping tingkat ketersediaan ikan di Jawa yang jauh lebih rendah daripada di luar Jawa. Nikijuluw (1998) menunjukkan bahwa Jawa yang mempunyai populasi sekitar 60 persen dari populasi nasional hanya menyumbang sekitar 20 persen dari total produksi ikan nasional, sementara di daerah kawasan timur Indonesia yang populasinya hanya 15 persen dari populasi nasional memberikan sumbangan lebih dari 30 persen dari produksi ikan nasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk mendis-tribusikan ketersediaan ikan secara proporsional dalam upaya meningkatkan konsumsi ikan masyarakat Indonesia, khususnya yang berada di Pulau Jawa.
Konsisten dengan konsumsi total protein yang lebih rendah, konsumsi protein hewani juga lebih rendah pada rumah tangga pertanian dibandingkan rumah tangga nonpertanian. Hal ini semakin menguatkan fakta bahwa sebagian besar rumah tangga miskin merupakan rumah tangga pertanian.

2.4 Upaya Peningkatan Konsumsi Energi dan Protein dan Kaitannya
       dengan Kualitas SDM

Dari uraian di atas nampak bahwa masalah-masalah utama dalam konsumsi energi dan protein adalah tidak tercukupinya standar kecukupan minimum baik energi maupun protein pada rumah tangga berpendapatan rendah, sehingga pada kelompok ini masih terdapat banyak rumah tangga yang defisit energi maupun protein, ketergantungan yang tinggi pada beras sebagai sumber energi maupun protein, dan masih sangat rendahnya konsumsi pangan hewani yang sangat penting peranannya dalam upaya peningkatan kualitas SDM.
Kunci permasalahan-permasalahan tersebut terletak pada rendahnya pendapatan rumah tangga, oleh karena itu program-program pemerintah hendaknya diarahkan pada program-program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas (khususnya pangan hewani) dan terdistribusi dengan merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan.
Mengingat relatif tingginya proporsi rumah tangga defisit energi dan protein di daerah perdesaan, maka penanganan masalah pelaksanaan pembangunan nasional khususnya pemantapan ketahanan pangan perlu lebih memprioritaskan daerah perdesaan agar kesenjangan antara desa - kota tidak semakin melebar.




BAB III
Kesimpulan
Secara nasional asupan energi maupun protein rumah tangga di perdesaan sudah mencapai stándar mínimum kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dengan kecenderungan peningkatan selama periode 1999-2005. Walaupun demikian, pada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah konsumsi energi dan proteinnya masih di bawah stándar mínimum kecukupan energi maupun protein. Konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga perdesaan di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa, sementara konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga pertanian lebih rendah daripada rumah tangga nonpertanian.

Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein di daerah perdesaan masih relatif tinggi, khususnya pada rumah tangga berpendapatan rendah. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein lebih tinggi di Jawa daripada di luar Jawa, lebih tinggi pada rumah tangga pertanian daripada rumah tangga nonpertanian.

Beras masih menjadi sumber utama energi dan protein rumah tangga di perdesaan, sementara konsumsi protein hewani masih rendah, sehingga masih di bawah konsumsi protein hewani yang direkomendasikan. Konsumsi dan kecukupan protein hewani rumah tangga perdesaan di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa, sementara konsumsi dan kecukupan protein hewani rumah tangga pertanian lebih rendah daripada rumah tangga nonpertanian.

Implikasi Kebijakan

Kunci permasalahan-permasalahan terkait ketidakcukupan konsumsi energi dan protein terletak pada rendahnya pendapatan rumah tangga, oleh karena itu program-program pemerintah hendaknya diarahkan pada program-program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas (khususnya pangan hewani) dan terdistribusi dengan merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan

Mengingat relatif tingginya proporsi rumah tangga defisit energi dan protein di daerah perdesaan, maka penanganan masalah pelaksanaan pembangunan nasional khususnya pemantapan ketahanan pangan perlu lebih memprioritaskan daerah perdesaan agar kesenjangan antara desa - kota tidak semakin melebar.






















DAFTAR PUSTAKA


Ariani, M. 2004. Analisis Perkembangan Konsumsi Pangan dan Gizi. ICASERD Working Paper No. 67.

Ariningsih, E. 2002. Perilaku Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati Sebelum dan Pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Tesis Magister Sains. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Badan Ketahanan Pangan, 2008. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2007. Berita Resmi Statistik No. 38/07/Th. X.2007. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII ”Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”. Jakarta, 17-19 Mei 2004.

Hardjana, A.A. 1994. Orientasi Perilaku Konsumen Tentang Masalah Pangan dan Gizi dari Sumber Hayati Kelautan. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

Hasibuan, A.R. 2001. Perilaku Konsumen Mi Instan Dalam Upaya Mengurangi Ketergantungan Terhadap Makanan Pokok Beras di Yogyakarta. agrUMY IX (2): 98-104.

Irawan, B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1): 25-47
Jahari, A.B dan I. Sumarno. 2002. Status Gizi Penduduk Indonesia. Majalah Pangan No. 38/XI/Jan/2002: 20-29.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1994. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

Martianto, D dan M. Ariani. 2005. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia Dalam Dekade Terakhir. Info Pangan dan Gizi. Edisi Khusus. Vol XV No. 2. Direktorat Gizi Masyarakat, Ditjen Bina Gizi Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehata, Jakarta.

Moeloek, F.A. 1999. Gizi Sebagai Basis Pengembangan Sumber daya Manusia Menuju Indonesia Sehat 2000. Dalam Pengembangan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. Persatuan Peminat Pangan dan Gizi dan Center for Regional Resources Development and Community Empowerment, Jakarta.

Muhilal, I. Jus’at, H.M. Anwar, F. Djalal, dan Ig. Tarwotjo. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

Nikijuluw, V.P.H. 1998. Permintaan dan Penawaran Ikan Serta Implikasinya Bagi Pembangunan Perikanan. Agro Ekonomika, 16(2): 10-18.

Simatupang, P. dan M. Ariani. 1997. Hubungan Antara Pendapatan Rumah Tangga dan Pergeseran Preferensi Terhadap Pangan. Majalah Pangan No. 33 Vol. IX.

Soehadji. 1994. Tanggapan dan Pembahasan Makalah Prof. Dr. Michael Crawford, Prof. Dr. Boedhi-Darmojo, dan Prof Dr. Soekirman. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar