kpk

kpk
Gambar ini diambil saat penyambutan di poltekkes kemenkes bengkulu yang dihadiri seluruh jurusan perawat, kebidan, gizi, analis kesehatan, dan kesehatan lingkungan. lomba LKTI pertama yang dimenangkan jurusan gizi dan sekaligus poltekkes kemenkkes bengkulu semoga ada juara-juara yang akan datang yang akan tetap mengharumkan nama baik poltekkes kemenkes bengkulu. Amin. Mahasiswa Gizi foto bareng dengan direktur poltekkes bengkulu (sebelah kiri) dan Ketua Jurusan Gizi (pojok sebelah kanan), dan disebelahnya, kaprodi D4 gizi dan dilanjutkan dengan dosen pembimbing yang membimbing ketiga mahasiswa...

Senin, 14 Juli 2014

tekpang


TEKNOLOGI PANGAN
( KUALIFIKASI FORTIFIKASI INDONESIA,MENJELASKAN JENIS DAN CARA PENINGKATAN KADAR DAN  MUTU GIZI PANGAN SERTA CONTOH PRODUK )






OLEH:
Satria Evo Budiarjo
PO 5130112 069


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
JURUSAN  GIZI
TAHUN AKADEMIK 2013/2014
”PEMBAHASAN”

Ø KUALIFIKASI FORTIFIKASI INDONESIA
I.   PENDAHULUAN
            Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha   pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang mendasar. Beberapa ahli bahkan menyatakan kebutuhan atas pangan merupakan suatu hak asasi manusia yang paling dasar.
            Dalam kaitan ini, penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No. 7  Tahun 1996 tentang Pangan, bahkan secara tegas  menyatakan bahwa “Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang  pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus   senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan  beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat”. Di   sini, pengertian pangan sebagai hak asasi manusia ini tidak hanya   bersifat kuantitatif saja, tetapi juga mencakup aspek kualitatif.  Pangan yang tersedia haruslah pangan yang aman untuk dikonsumsi,  bermutu dan bergizi. Dengan demikian pembicaraan tentang pangan memang   pada kenyataannya sulit dipisahkan dengan gizi. Bentuk tidak terpenuhinya hak asasi atas pangan dan gizi yang paling   umum adalah kekurangan pangan alias kelaparan. Namun demikian, harus   disadari bahwa kelaparan mempunyai beberapa tingkatan, yang jika   terjadi secara cukup lama dan terus-menerus, akan berkontribusi pada   terjadinya kemunduran/penurunan status kesehatan, produktivitas, dan   akhirnya ikut pula mempengaruhi tingkat intelektualitas dan status   sosial. Tingkat-tingkat kelaparan itu sendiri antara lain dipengaruhi   oleh (i) jumlah konsumsi bahan pangan, (ii) jenis dan kualitas bahan   pangan yang dikonsumsi, atau (iii) kombinasi antara kedua faktor   tersebut.
            Kekurangan akan tiga jenis zat gizi mikro (micronutrient) iodium, besi, dan vitamin A secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Konsekuensi serius dari kekuarangan tersebut terhadap individu dan keluarga termasuk ketidakmampuan belajar secara baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan bahkan kematian.
            Masalah kekurangan zat gizi mikro merupakan fenomena yang sangat jelas menunjukkan rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Untuk itu, intervensi gizi yang mampu menjamin konsumsi makanan masyarakat mengandung cukup zat gizi mikro perlu dilakukan. Selain itu, peranan zat gizi mikro secara lengkap perlu dikembangkan untuk daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat. Atas dasar itulah maka perlu dilakukan terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi perbaikan gizi, fortifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan.
II.   PENGEMBANGAN PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN
            Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) kepangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.
            The Joint Food and Agricuktural Organization World Health Organization (FAOIWO) Expert Commitee on Nutrition (FAO/WHO, 1971) menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan kepada pangan yang dikonsumsi secara umum. Untuk mempertahankan dan untuk memperbaiki kualitas gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan.
            Istilah double fortijication dan multiple fortification digunakan apabila 2 atau lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atan campuran pangan. Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle’, sementara zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Fortificant ‘. Secara umum fortifikasi pangan dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan berikut:
  1. Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan).
  2. Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang siquifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan.
  3. Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan bergizi misal : susu formula bayi.
  4. Untuk menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega .
Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain
adalah:
  1. Menentukan prevalensi defisiensi mikronutrien
  2. Segmen populasi (menentukan segmen)
  3. Tentukan asupan mikronutrien dari survey makanan
  4. Dapatkan data konsumsi untuk pengan pembawa (vehicle) yang potensial
  5. Tentukan availabilitas mikronutrien dari jenis pangan
  6. Mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)
  7. Mencari dukungan industri pangan
  8. Mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industri pengolahan(termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)
  9. Memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya
  10.  Kembangkan teknologi fortifikasi.
  11. Lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas organoleptik dari produk fortifikasi.
  12.  Tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi
  13. Lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan
  14. Kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifiksi
  15. Defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan
  16. Kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance
  17. Promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.
             fortifikasi sebaiknya dilaksanakan dan diikuti program gizi lainnya. Pendekatan program yang dapat disertakan diantaranya pendidikan gizi, suplementasi, aktivitas kesehatan masyarakat, dan perubahan konsumsi pangan.
            Program fortifikasi memiliki peranan yang sangat penting, tentunya tidak sebatas pemenuhan gizi masyarakat tapi juga mempunyai arti peningkatan kualitas perekonomian suatu negara. Begitu pentingnya program ini, ada wacana penelitian untuk memulai melakukan biofortifikasi pangan. Biofortifikasi pangan bisa diterjemahkan sebagai fortifikasi prematur, yakni fortifikasi bukan diberikan pada produk tapi bahan-bahan hasil pertanian seperti padi sudah memiliki kandungan zat gizi yang sengaja “ditambahkan” mulai dari saat budidaya. Biofortifikasi baru mulai dilakukan peneitian terhadap padi.
Tabel 1. Keuntungan Fortifikasi Pangan Dibanding Dengan Suplementasi Dosis tinggi
            Perubahan konsumsi diarahkan ke diversifikasi pangan untuk meningkatkan konsumsi pangan kaya besi. Perubahan akan terjadi bilamana disertai pendidikan gizi dengan penyampaian pesan yang sesuai target grup dan bisa diterima. Melalui peningkatan pemahaman tentang besi dan dampaknya diharapkan akan merubah perilaku pemilihan pangan yang dikonsumsi. Demikian pula dengan suplementasidan dan juga ASI eksklusif tetap harus dilakukan seiring dengan program perbaikan gizi yang lain.
III. MENGHITUNG NILAI EKONOMI GIZI
            Bagi banyak orang, masalah gizi dianggap masalah kesehatan semata, dan bukan masalah ekonomi ataupun masalah pembangunan. Banyak perencana dan pengambil kebijakan pembangunan, kurang menghargai pentingnya investasi di bidang gizi untuk pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia (SDM). Mereka baru ramai-ramai bicara soal gizi ketika sedang terjadi kelaparan dan munculnya banyak balita yang bergizi buruk akibat kurang energi (kalori) dan protein yang dikenal dengan kurang energi protein (KEP). Dengan demikian, menurut Prof. Soekirman (Guru Besar Ilmu Gizi IPB), perlu adanya transformasi “bahasa gizi” ke dalam “bahasa ekonomi”.
            Jika keluarga dan masyarakat menyandang masalah gizi maka bangsa ini akan kehilangan potensi sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah yang akan dihadapi antara lain banyak anak yang tidak maju dalam pendidikan di sekolah karena kecerdasannya berkurang, banyak anggota masyarakat dewasa yang produktivitasnya rendah karena pendidikan dan kecerdasannya kurang atau kemampuan kerja fisiknya juga kurang, keluarga dan pemerintah mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi karena banyak warganya mudah jatuh sakit akibat kurang gizi, serta meningkatnya angka kematian pada usia produktif sehingga merupakan penggerogotan sumber daya manusia.
            Membangun masyarakat tidak cukup dengan membangun jalan, jembatan, gedung, pabrik, perkebunan, dan prasarana ekonomi lainnya. Investasi di bidang prasarana ekonomi tidak akan dinikmati rakyat banyak tanpa disertai investasi yang sepadan untuk pembangunan social terutama di bidang pangan, gizi, kesehatan, dan pendidikan. Bahkan beberapa penelitian menyatakan bahwa Indonesia diperkirakan mengalami kerugian sekitar 8,9 triliun rupiah setiap tahun akibat anemia. Hal tersebut membuktikan bahwa masalah gizi bisa diterjemahkan sebagai masalah ekonomi.
IV. PERAN PEMERINTAH DALAM PROGRAM FORTIFIKASI
            Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan nasional Indonesia telah pula   menghasilkan pembangunan bidang pangan dan gizi. Kini, masyarakat   Indonesia umumnya mampu mengkonsumsi jumlah bahan pangan yang cukup.   Namun dari segi jenis dan kualitas bahan pangan yang dikonsumsi, harus   pula diakui bahwa masih cukup banyak masyarakat Indonesia yang belum   mampu mencukupi kebutuhan gizi minimumnya. Kondisi yang terakhir ini,   sering tidak menyebabkan individu yang mengalaminya merasakan adanya lapar. Namun, sebagaimana diungkapkan di depan, bila hal ini terjadi pada kurun waktu yang cukup panjang, maka akan menyebabkan gejala-gejala terganggunya kesehatan. Kondisi semacam ini sering   disebut sebagai kelaparan yang tersembunyi (hidden hunger), kelaparan   gizi, atau malnutrisi.
            Program perbaikan gizi selama Repelita VI diprioritaskan untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat melalui peningkatan peranserta masyarakat dalam upaya memperluas cakupan dan sasaran penanggulangan gizi-kurang, terutama di desa-desa miskin dan tertinggal. Dalam pelaksanaannya program perbaikan gizi meliputi upaya meningkatkan mutu dari produk-produk makanan yang dihasilkan baik oleh sektor industri maupun olahan         masyarakat, dan melindungi masyarakat dari bahan makanan yang membahayakan kesehatan.
            Program perbaikan gizi dilaksanakan melalui kegiatan-k­egiatan (a) penyuluhan gizi masyarakat; (b) usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK); (c) usaha perbaikan gizi institusi (UPGI); (d) fortifikasi bahan pangan, dan (e) penerapan dan pengembangan     sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG).
            Pada kenyataannya, hasil dari berbagai survei tentang kondisi gizi di masyarakat Indonesia masih menunjukkan adanya suatu segmen populasi   tertentu yang mengalami kelaparan gizi tersebut. Mereka itu terutama   terdiri dari anak-anak usia sekolah, golongan tua, wanita mengandung dan menyusui. Ada beberapa sebab yang membuat segmen populasi tersebut   muncul. Mungkin itu dikarenakan antara lain (i) oleh kebiasaan dan   kesukaan makan yang berbeda antara segmen populasi yang satu dengan segmen populasi yang lain, atau (ii) karena di daerah tertentu   tersebut memang tidak atau kurang tersedia produk pangan yang mampu berperan sebagai sumber zat gizi esensial yang diperlukan.
            Dari berbagai hasil survai gizi di Indonesia, sampai saat ini Indonesia masih mengalami tiga (3) masalah malnutrisi zat gizi mikro,   yaitu masalah (1) gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) yang antara lain dapat menyebabkan penyakit gondok dan kretinisme; (2) anemia zat   besi, yang mengakibatkan menurunnya tingkat produktivitas kerja dan  ketahanan tubuh (mudah terkena infeksi); dan (3) kekurangan vitamin A yang dapat mengakibatkan terjadinya kebutaan.
            Dapat diduga bahwa masalah malnutrisi atau kelaparan gizi ini umumnya   dialami oleh masyarakat lapisan bawah. Namun hal ini bukan berarti bahwa lapar gizi tidak terjadi di masyarakat kalangan atas di   perkotaan. Dengan adanya kecenderungan konsumen untuk mengkonsumsi makanan rendah kalori, kurang beragamnya produk pangan yang dikonsumsi (terutama hanya bertumpu pada produk pangan olahan saja) dapat pula   menyebabkan kondisi kelaparan gizi pada kalangan masyarakat yang   berpendapatan tinggi. Karena itu masalah kelaparan gizi ini dapat   terjadi pada semua kalangan masyarakat.
            Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas hanya akan tercapai manakala ada kebijakan yang kondusif, progresif, dan berkesinambungan.Secara umum, walaupun usaha-usaha pemerintah untuk memerangi masalah   malnutrisi zat gizi mikro ini telah banyak dilakukan, antara lain   dengan program fortifikasi pangan dan program penyempurnaan pedoman   empat sehat lima sempurna. Namun indikasi kuat tetap menunjukkan bahwa   masalah-masalah malnutrisi ini secara nasional masih belum terselesaikan dengan tuntas. Mengingat akibat yang dapat ditimbulkan   cukup serius, maka usaha penanggulangannya perlu diusahakan dengan baik.
Tabel 2. Perkembangan Paradigma Ketahanan Pangan di Indonesia
            Bicara kaitan gizi dan ekonomi, peraih Nobel Ekonomi, Armatya Sen mengatakan, terjadinya gizi buruk dan kelaparan bukan semata-mata terkait kurangnya bahan pangan di suatu negara, tapi juga akibat akses pangan yang rendah serta lemahnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, seperti temuan Sen, tidak ada jaminan bahwa masalah kurang pangan otomatis terhindari walau makanan berlimpah. Sebab, masalah kelaparan terkait dengan soal apakah harganya terjangkau atau barang terkait bisa diperoleh karena distribusinya yang baik.
            Saat ini fortifikasi pangan dianggap strategi yang cukup baik untuk perbaikan gizi mikro. Hasil konferensi internasional gizi di Roma Tahun 1992, fortifikasi pangan merupakan upaya perbaikan gizi yang dianjurkan. Di Jordan pada tahun 1996 juga merekomendasikan fortifikasi pangan dalam rencana aksi nasional gizi.
            Pada umumnya penduduk di negara berkembang memiliki akses terhadap pangan rendah karena berkaitan dengan kemiskinan. Kebanyakan mereka mengkonsumsi pangan dari pangan yang ditanam atau pangan yang tersedia di pasar lokal. Pertanyaannya adalah bagaimana program fortifikasi bisa menjangkau para keluarga berpenghasilan rendah. Disisi lain fortifikasi akan menaikkan biaya produksi yang berimplikasi pada kenaikan harga jual.
            Fortifikasi pangan merupakan aktivitas yang cukup luas melibatkan berbagai sektor, tidak hanya sektor kesehatan. Keefektifan dan keberlanjutan dari program fortifikasi bilamana terjadi kerjasama yang baik antara pemerintah, sektor publik, sektor swasta dan sektor sosial. Pada program fortifikasi peran swasta dan masyarakat cukup besar dan akan menentukan tingkat keberhasilan.
            Pada tataran implementasi program fortifikasi perlu direncanakan dengan baik dalam suatu tahapan. Tahapan dalam implementasi sebagai berikut :
  1. Identifikasi target grup dan penetapan kebutuhan untuk memperbaiki deficiensi besi yaitu kebutuhan untuk fortifikan dan pangan pembawa.
  2. Mengkaitkan fortifikasi dengan strategi perbaikan gizi lainnya, terutama pendidikan gizi, supplementasi dan perubahan konsumsi ke arah peningkatan pangan kaya besi
  3. Menentukan bentuk kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
  4. Menilai fisibility fortikasi dan scala produksi industri,
  5. Menentukan lokasi untuk mendemonstrasikan fortifikasi pangan,
  6. Mendesain materi pemasaran sosial yang baik untuk menyampaikan pesan tentang fortifikasi pangan
  7. Advokasi untuk mendapatkan dukungan politik dan financial.
  8. Identifikasi dan pengembangan kebutuhan teknologi fortifikasi untuk menjamin qualitas produk dan biaya murah
  9. Jaminan instalasi dari mesin dan kelengkapan sarana untuk fortifikasi dan untuk jaminan kontrol kualitas dan asuransi.
  10. Mendesain sistim monitoring dan evaluasi (MONEF) secara terukur, mekanisme jelas, dengan tujuan untuk bisa melihat perkembangan program fortifikasi.
Kondisi-kondisi yang perlu untuk suksesnya program fortifikasi, antara lain adalah:
  1. dukungan politik,
  2. dukungan industri,
  3. perangkat legislasi yang cukup termasuk pengendalian kualitas eksternal,
  4. tingkat (taraf) fortifikasi yang tepat,
  5. bioavailibilitas yang baik dari campuran,
  6. tidak ada efek penghambat dari makanan asal (common diet),
  7. pelatihan sumber daya manusia pada tingkat industri dan pemasaran ,
  8. akseptibilitas (keterimaan) konsumen,
  9. tidak ada penolakan secara kultural (dan yang lain) terhadap pangan hasil fortifikasi,
  10. penilaian laboratoris yang cukup (memadai) untuk status zat gizimikro,
  11. dalam kasus kekurangan gizi besi, ketidakhadiran paratisme dan nondiit lain yang menyebabkan anemi, dan,
  12.  tidak ada kendala yang menyangkut usaha untuk mendapatkan gizimikro.
            Salah satu contoh peran pemerintah adalah adanya Peraturan Menteri (Permen) Perindustrian Nomor 49/M-IND/PER/7/2008 Tentang Pemberlakuan SNI Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan Secara Wajib setelah sebelumnya mencabut pemberlakuan SNI yang diadopsi sebagai regulasi teknis yang diberlakukan wajib.
            Keputusan Pemerintah ini disambut baik oleh Ketua Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) Soekirman. Menurutnya, Peraturan Menteri Perindustrian ini lebih baik dan lebih sederhana, sehingga diharapkan tidak ada lagi importir tepung terigu yang menolak fortifikasi wajib tepung terigu dengan alasan ongkos yang tinggi dan dianggap tidak bermanfaat bagi masyarakat.
            Penetapan pemberlakuan SNI tepung terigu ini, lanjutnya, juga disambut baik oleh badan-badan dunia yang berkepentingan dengan program fortifikasi dan mereka yang membantu pendanaan program gizi di Indonesia, seperti Unicef, Bank Pembangunan Asia, WFP, Usaid, CIDA, Micronutrient Initiative (MI) di Kanada, Flour Fortification Initiative di Atlanta, Amerika Serikat, serta negara berkembang yang menyiapkan program fortifikasi wajib, seperti Malaysia, Vietnam, dan India.
            Fortifikasi wajib atas komoditas pangan tertentu adalah bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan yang cost-effective. Kedepannya diharapkan agar pada periode pembangunan nasional dan daerah program fortifikasi wajib tidak terbatas pada fortifikasi wajib garam beryodium, dan tepung terigu seperti yang ada, tetapi juga raskin, minyak goreng curah, dan produk tepung lain yang nonterigu.
            Di Indonesia, fortifikasi zat besi misalnya telah wajib diberlakukan pada beberapa produk pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu. Namun demikian, sampai sekarang fortifikasi masih belum banyak berperan dalam penanggulangan anemia gizi besi di masyarakat, terlihat dengan masih tingginya angka prevalensi anemia gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah karena bahan pangan yang digunakan sebagai tunggangan (vehicle) belum dikonsumsi secara luas dan kontinyu oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah. Agar strategi fortifikasi ini lebih efektif, perlu dicari pangan “tunggangan” baru yang lebih umum dan banyak dikonsumsi masyarakat.
            Dilihat dari tingkat ekonomi dan kultur masyarakat Indonesia, kandidat yang sangat potensial sebagai tunggangan besi adalah garam. Sebagaimana diketahui, garam merupakan bahan pangan yang murah, mudah didapat dan dikonsumsi setiap hari oleh seluruh lapisan masyarakat di segala tingkat ekonomi. Disamping itu, kadar dan cara konsumsi garam bisa dikatakan hampir seragam. Penggunaan garam sebagai pangan tunggangan pada fortifikasi iodium telah dilakukan secara nasional dan terbukti berhasil menanggulangi defisiensi iodium. Oleh karenanya, penambahan zat besi pada garam beriodium memiliki harapan besar dapat digunakan untuk menanggulangi dua masalah gizi utama di Indonesia sekaligus, yakni gangguan akibat kekurangan iodium (GAKY) dan anemia gizi besi (AGB).
V.  PERAN INDUSTRI DALAM PROGRAM FORTIFIKASI                                         Harus diakui bahwa, industri pangan di Indonesia telah berkembang  dengan cukup pesat. Ia telah berhasil membawa perubahan-perubahan  terhadap kebiasaan dan pola makan masyarakat konsumennya. Industri   pangan sudah berhasil pula menyajikan kepada konsumen beragam pilihan produk pangan olahan, termasuk yang menjanjikan kemudahan-kemudahan   dalam penyiapan, penyajian dan pembuangannya. Namun demikian,  pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah apakah perubahan-perubahan  cukup mendasar yang diakibatkan oleh kegiatan pengembangan industri pangan tersebut membawa manfaat terhadap status gizi dan kesehatan  masyarakat konsumennya?.
            Industri pangan/makanan memegang peranan kunci dalam setiap program fortifikasi di setiap Negara.  Hal ini disebabkan karena industri pangan  memang memegang peranan yang penting dan strategis dalam membentuk  pola dan kebiasaan diet masyarakat. Apalagi dengan kegiatan promosi  yang didukung oleh dana yang besar, maka industri pangan mempunyai  kekuatan yang besar untuk mempengaruhi (secara positif atau pun   negatif) status gizi dan kesehatan masyarakat konsumennya.
            Pelaksanaan fortifikasi pangan, bagaimanapun, harus dijalankan oleh industri pangan/makanan. Akan tetapi, dalam banyak kasus departemen kesehtan sering tidak dapat atau mau mengendalikan dan memotivasi industri. Umumnya pemerintah tidak melakukan sendiri fortifikasi pangan. Hal ini adalah tugas/tanggungjawab dari perusahaan pengolahan makanan. Pegawai pemerintah harus bertindak sebagai penasehat, konsultan, koordinator, dan supervisor yang memungkinkan industri pangan/makanan melaksanakan fortifikasi pangan secara efektif dan menguntungkan.
            lndustri pangan/makanan juga dapat memainkan peranan yang nyata dalam strategi fortifikasi jangka panjang melalui penyediaan tenik preservation yang dikembangkan dan melalui peningkatan (promosi) pangan yang kaya zat gizimikro yang tersedia secara lokal atau sebagai       fortifikan. Spesifiknya, industri pangan (baik nasional manpun multinasional) perlu untuk:
  1. berpartisipasi sejak permulaam perencanaan program, yang akan menetapkan strategi fortifikasi yang layak,
  2. mengidentifikasi mekanisme untuk kolaborasi antara pemerintah, industri pangan dan sistem pemasarannya, dan organisasi non pemerintah dan perwakilan donor,
  3. membantu dalam mengidentifikasi pangan pembawa dan fortifikan yang sesuai,
  4. menetapkan dan mengembangkan sistem jaminan mutu (quality assurance system),
  5. berpatisipasi dalam dukungan-dukungan promosi dan edukasi untuk mencapai populasi sasaran.
V. PENUTUP
            Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih nutrisi pada makanan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.
            Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizimikro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.
            Di negara berkembang, yang memiliki masalah gizi dan kemampuan ekonomi masyarakat rendah, maka fortifikasi merupakan program wajib (intervensi pemerintah). Program pemerintah ini tentunya akan terlaksana dengan baik apabila didukung semua pihak, termasuk di dakamnya industri dan para pelaksana teknis di lapangan.
Ø Jenis dan cara peningkatan kadar dan mutu gizi pangan serta contoh produk
v  Jenis peningkatan kadar dan mutu gizi pangan                                        Penambahan zat-zat gizi kedalam bahan makanan dikenal dengan istilah fortifikasi (fortification) atau enrichment (memperkaya). Istilah lain yang sering digunakan dengan maksud yang sama adalah supplement (penambahan), restoration (restorasi, atau pemulihan kembali), dan sekarang banyak digunakan istilah baru yaitu nutrification (nutrifikasi) yang secara harfiah berarti mempergizi atau dengan kata lain meningkatkan nilai gizi.
1.Suplementasi
            Suplementasi harus dilakukan dengan memenuhi persyaratan tertentu. Untuk tujuan meningkatkan nilai gizi suatu bahan makanan, persyaratan yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut :
a.       Zat gizi yang ditambahkan tidak mengubah warna dan citrasa bahan makanan;
b.      Zat gizi tersebut harus stabil selama penyimpanan
c.       Zat gizi tersebut tidak menyebabkan timbulnya suatu interaktif negative dengan zat gizi lain yang terkandung dalam bahan makanan.
d.      Jumlah yang ditambahkan harus memperhitungkan kebutuhan individu, sehingga kemungkinan terjadinya keracunan (akibat over –dosis) dapat dihindarkan.

1.1  Suplementasi Protein
                        Efisiensi penggunaan protein atau mutu gizi suatu protein dapat ditingkatkan dengan cara menambahkan kepada protein yang kekurangan (defisiensi), sejumlah kecil protein lain yang kaya akan asam amino yang kadarnya rendah dalam protein yang defisien tersebut.
Contoh pada jagung, kelemahan kandungan jagung adalah asam amino esensialnya rendah . terutama lisin dan triptofan , itulah sebabnya mengapa mengunakan jangung yag tinggi harus diimbangi dengan penggunaan bahan lain sebagai sumber protein yang kandungan asam aminonya tinggi , seperti tepung kedelai. Metode yang biasanya digunakan adalah dengan cara menambahkan kepada suatu protein defisien yang jumlahnya ditingkatkan secara bertahap. Kemudian masing-masing campuran dievaluasi nilai gizinya (nilai PER) menggunakan tikus percobaan.
 Gambar 1.1 memperlihatkan contoh pengaruh penambahan tepung kedelai pada jagung. Tepung kedelai yang disuplementasi adalah sebanyak 0,4,8,12,16, dan 20 % (Bressani, 1975)   
Keterangan :
Asam amino
Tepung kedelai (%)
0
12
20
….(mg/16g N)….
Lisin
2,88
4,52
4,96
AAS (Met+Cys)
3,15
3,14
3,14
Triptofan
0,6
0,97
1,08
Kdr Prot (%)
6,44
12,32
16,24

Gambar 1.1 Pengaruh suplementasi tepung kedelai pada jagung terhadap nilai PER (Bressani, 1975).
Hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa dengan penambahan tepung kedelai terdapat kenaikan mutu protein jagung, yang mencapai maksimum pada penambahan tepung kedelai sebanyak 8 % (rasio jagung-kedelai = 9:1). Peningkatan nilai gizi tersebut disebabkan karena ditutupinya kekurangan lisin pada protein jagung contoh pengaruh penambahan tepung kedelai pada jagung.
      1.2  Suplementasi serat makanan
Dewasa ini banyak diproduksi dan dipasarkan serat makanan dalam bentuk pil atau tablet, yang disebut supplement. Yang dimaksudkan dengan suplementasi serat makanan dalam buku ini adalah penambahan serat makanan dalam pengolahan suatu produk makanan, misalnya roti, biscuit, dan lain-lain, dengan tujuan untuk meningkatkan kadar seratnya.
      Karena fungsinya yang baik untuk kesehatan, serat makanan tidak lagi dianggap sebagai bahan non-esensial; the National Cancer Institute dan Federation of the American Societies for Experimental Biology di Amerika Serikat, menganjurkan konsumsi serat makanan ditingkatkan menjadi sekitar 20-30 g per hari (ncl, 1984;Pilch,1987)
      Selain dari buah-buahan dan sayuran, serat makanan dapat juga diperoleh dari limbah hasil pertanian misalnya dedak gandum, dedak padi (bekatul), dedak oats, ampas tahu, ampas kecap, dan lain-lain. Suplementasi serat makanan dapat dilakukan pada produk pangan seperti cookies, crackers, tortilla chips, fruit smack, exruded snack, pretzels, granola bars, dan produk pangan lainnya termasuk roti.
      Hasil penelitian Lynda Suzana (1992), menunjukkan bahwa suplementasi dedak padi (bekatul) yang telah distabilkan (dipanaskan dalam otoklaf) sebanyak 15 % dalam pembuatan roti manis, tidak mempengaruhi tingkat pengembangan roti; dan dapat meningkatkan kadar serat makanan menjadi dua kali semula (2,3 % menjadi 4,5 %). Selain itu, penambahan kadar niasin dalam roti, yang semula kadarnya sekitar 1,68 mg/100 g menjadi 2,24 mg/100g.
      Suplementasi dedak padi (15 %) dalam pembuatan biscuit, memerlukan penambahan tepung pisang (15 %) untuk menutupi bau yang tidak enak dari bekatul. Kadar serat makanan dalam biscuit dapat ditingkatkan lebih dari dua kalinya, yaitu yang semula kadarnya sekitar 3,6 % meningkat menjadi 8,8 %; sedangkan kadar niasin meningkat dari semula sekitar 0,66 mg/ 100 g menjadi sekitar 2,09 mg/ 100 g  (Lynda Suzana, 1992).
·        Produk suplementasi
1.Bahan Makanan Campuran (BMC)
Bahan Makanan campuran (BMC) adalah campuran bahan makanan dalam perbandingan tertentu, yang kadar zat gizinya tinggi (Departemen Kesehatan, 1979).
            Bahan Makanan Campuran dapat digunakan sebagai bahan makanan tambahan dalam menghidangkan makanan yang dikonsumsi sehari-hari, agar kecukupan zat gizi yang dianjurkan dapat terpenuhi. Untuk melengkapi kekurangan zat gizi yang terdapat dalam hidangan sehari-hari tersebut, Bahan Makanan Campuran harus diberikan dalam jumlah yang telah diperhitungkan (Hermana, 1976)  Lebih lanjut Hermana (1997) mengemukakan bahwa BMC dapat juga digunakan sebagai makanan bayi, sebagai pelengkap Air Susu Ibu (ASI) atau pengganti ASI, sebagai alat pendidikan gizi untuk menunjukkan susunan hidangan yang baik. Dapt juga sebagai bahan dalam pembuatan makanan jajajan (Widy  Karya Nasional Pangan dan Gizi, 1983).
            Penyusunan komposisi zat gizi BMC disesuaikan dengan kebutuhan zat gizi golongan sasaran. Golongan sasaran yang dimaksud adalah anak balita, ibu hamil, ibu menyusui dan buruh kasar. Dengan demikian dalam penyusunan BMC perlu memperhatikan beberapa pertimbangan dasar (Hermana, 1976), yaitu sebagai berikut:
      1.      Jenis keadaan gizi kurang yang akan ditanggulangi.
      2.      Golongan rawan yang akan diberi BMC.
      3.      Kemungkinan untuk memproduksi dan mendistribusikan BMC.
      4.      Kemungkinan penerimaan konsumen terhadap BMC itu yang meliputi cita rasa, kesesuaian dengan pola dan kebiasaan makan.
Lebih lanjut Hermana (1997) mengatakan bahwa dalam penyusunan BMC harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
      1.      Bernilai gizi tinggi, berkadar energy dan protein tinggi.
      2.      Merupakan sumber vitamin dan mineral.
      3.      Dapat diterima dengan baik cita rasanya.
      4.      Harga terjangkau oleh daya beli golongan sasaran.
      5.      Dapat dibuat dari bahan-bahan makanan yang dihasilkan setempat.
      6.      Daya tahan simpannya cukup selama waktu peredaran sampai dikonsumsi.
Dalam penyusunan BMC harus memperhatikan pola kecukupan asam amino menurut kelompok umur yang telah ditetapkan ole FAO/WHO/UNU (1980) yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Bahan makanan campuran dapat disusun dengan menggunakan dua, tiga, atau empat bahan makanan. Bahan utamanya sumber kalori. Bahan-bahan lain ditambahkan untuk melengkapi asam amino yang jumlahnya sedikit dalam bahan utama. Bahan-bahan utamapun dapat melengkapi asam amino dalam bahan makanan lain (Mohamad, 1979).
Di Negara-negara berkembang bahan makanan campuran terdiri dari kedelai atau kacang-kacangan sebgai sumber protein, sedangkan beras atau serealia lain merupakan sumber energy. Selain itu umbi-umbian seperti ubi kayu, bi jalar dapat dijadikan sumber energy ( Hermana dkk, 1977).
Dalam menyusun BMC, semakin banyak bahan makanan yang digunakan akan semakin baik nilai gizinya. Jenis BMC yang dapat disusun menurut Jelliffe (1967) dapat dilihat pada Tabel 2.
Bahan Makanan Campuran (BMC) terbuat dari bahan kacang-kacangan dan tepung tempe yang diformulasikan sehingga memenuhi kecukupan nilai kalori dan gizi. Tempe merupakan hasil fermentasi kedele dan sudah sangat dikenal dengan keunggulannya baik nilai gizi maupun dari kandungnan bioaktifnya yang bermanfaat untuk kesehatan. Kegunaannya yaitu sebagai bahan makanan campuran untuk membuat berbagai kue basah dan kering. Keuntungan teknis/ekonomis yaitu tahan lama, daya cerna protein tinggi, cocok untuk anak-anak dan manula, dan bergizi tinggi dengan kalori tinggi.    
Penelitian Lembaga Gizi ASEAN menyimpulkan, tempe dapat digunakan dalam pembuatan bahan makanan campuran untuk menanggulangi masalah kekurangan kalori, protein, dan penyakit diare pada anak balita. Sepotong tempe goreng (50 gram) sudah cukup untuk meningkatkan mutu gizi 200 g nasi. Bahan makanan campuran beras-tempe, jagung-tempe, gaplek-tempe, dalam perbandingan 7:3, sudah cukup baik untuk diberikan kepada anak balita.
Program pangan UPT BPPTK LIPI merupakan lanjutan kegiatan pengembangan yang telah dilaksanakan oleh ex UPT BBOK LIPI dan mengimplementasikan hasil kegiatan penelitian Pusat Penelitian Kimia LIPI. Salah satunya yaitu menyempurnakan bentuk produk akhir makanan untuk perbaikan gizi anak usia sekolah dengan komponen utama tepung tempe. Bentuk produk yang telah diluncurkan adalah kue kudapan.
Tepung BMC Tempe
            Tepung BMC Tempe merupakan tepung campuran dari tepung tempe dan bahan lokal lainnya (tepung beras, tepung kacang hijau dll). Tepung BMC Tempe ini dapat dibuat menjadi produk makanan (kudapan) yang dapat digunakan dalam Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi anak usia sekolah maupun balita. Kudapan yang dibuat dari BMC Tempe, dinyatakan telah memiliki nilai gizi sesuai dengan persyaratan program PMT-AS (Inpres No.1 Tahun 1997 ayat III) yaitu mengandung 300 Kal dan 5 g protein. Produk BMC Tempe ini telah digunakan untuk memperbaiki keadaan gizi anak sekolah maupun balita. Kandungan zat gizi dalam 100 g Tepung BMC Tempe yaitu energi 375 Kal, protein 16%, lemak 2,5%, karbohidrat 71,7%, vitamin B1, B2, B12, zat besi, kalsium, dan kalium.
Tepung tempe memiliki kandungan protein yang sangat tinggi. Dalam 100 gram  tepung tempe terkandung 46,1 gram protein.
Bahannya, 250 gram margarin, 45 gram cokelat bubuk, 325 gram gula pasir halus , 50 gram tepung terigu, 50 gram  tepung tempe, 200 gram singkong, 4 butir telur ayam, garam, vanili, dan baking powder secukupnya. 
Cara membuat “Brownies Tempe”, siapkan gula dalam wadah.  Panaskan margarin, tuangkan margarin yang masih panas ke dalam gula kemudian kocok hingga rata. Lalu tambahkan telur ayam satu per satu, dan dikocok lagi hingga rata dan naik. Masukkan tepung terigu, tepung tempe, cokelat bubuk, baking powder, vanili dan garam, lalu diaduk hingga rata. Kemudian tambahkan setengah bagian singkong parut kasar ke dalam adonan dan aduk hingga rata. Tuangkan adonan ke dalam loyang ukuran 25 x 25 cm, taburi dengan sisa singkong parut. Terakhir masukan ke dalam panci kukus, dan kukus 35 menit.
Nilai Gizi untuk satu  resep; energi 4664 kalori, protein 86,3 gram, lemak 264 gram, karbohidrat 519 gram. Satu  resep tadi dapat menghasilkan 16 potong kue. Nilai  gizi per satu potong, energi 291 kalori, protein 5,4 gram, lemak 16,5 gram, karbohidrat 32,44 gram.
      2.Portifikasi
Apa Itu Fortifikasi Pangan ?
            Idealnya perbaikan gizi ditempuh dengan memperbaiki konsumsi makanan keluarga sehari-hari berdasarkan gizi seimbang. Namun, tidak semua anggota keluarga dapat memenuhi gizi seimbang karena  ketidak mampuan ekonomi dan atau kurangnya pengetahuan. Untuk memenuhi gizi seimbang, masyarakat 'tidak mampu' membutuhkan daya beli yang cukup, dan pengetahuan tentang gizi seimbang. Upaya peningkatan daya beli masyarakat memerlukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan pro-rakyat miskin. Sementara hasilnya tidak dapat diharapkan terlihat dalam waktu singkat. Padahal balita yang Kekurangan Gizi Mikro (KGM) membutuhkan pertolongan saat ini. Artinya, diperlukan program gizi saat anak masih balita dan orang tua masih miskin, agar balita terhindar dari dampak negatif KGM terhadap kesehatan, kecerdasan dan produktivitasnya, apabila mereka dewasa.
            Ilmu pengetahuan gizi dan ilmu teknologi pangan sejak awal abad ke-20 telah berhasil melakukan terobosan untuk menolong mereka yang menderita kurang gizi mikro pada saat mereka masih miskin. Teknologi fortifikasi pangan merupakan salah satu terobosan tersebut.
            Manfaat Fortifikasi Pangan
Global Alliance for Improving Nutrition (GAIN) tahun 2006 melaporkan hasil fortifikasi pangan di berbagai negara. Fortifikasi terigu dengan zat besi di Chile berhasil “menghapus” anemia karena kurang zat besi, sehingga anemia tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat (prevalensi hanya 1-7%). Sementara prevalensi kelainan bawaan pada saraf tulang belakang bayi lahir, yang dikenal dengan Neural Tube Defect (NTD) akibat ibunya ketika hamil kurang asam folat, turun dari 17 per 10.000 menjadi 10 per 10.000. Padahal di negara tetangganya, Argentina, yang tidak melaksanakan fortifikasi terigu, prevalensi anemi tercatat 27 persen.
Demikian juga di China yang telah melaksanakan fortifikasi (sukarela) kecap ikan dan kecap kedelai dengan zat besi, prevalensi anemia di kalangan perempuan dan balita turun dari 35-40 menjadi 10 persen setelah setahun fortifikasi. Di Amerika Latin, fortifikasi gula dengan vitamin A, dalam 5 tahun berhasil menurunkan prevalensi kurang vitamin A dari 40 menjadi 13 persen. Studi efikasi fortifikasi beras dengan zat besi di Filipina menunjukkan pula penurunan prevalensi anemia di antara anak sekolah dasar di Manila.
Demoge Assessment  Report (DAR) dari UNICEF dan MI (2004) menyatakan fortifikasi minyak goreng dngan vitamin A di 75 negara menurunkan 20% prevalensi kekurangan vitamin A pada balita.
·        Produk Portifikasi
FORTIFIKASI VITAMIN A PADA MINYAK GORENG
Menurut Profesor Sukirman selaku ketua Yayasan Fortifikasi Nasional dan Guru Besar EMERTUS Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam dialognya pada radio RRI Pro 3 Jakarta, beliau meyampaikan beberapa point terpenting dalam fortifikasi bahan makanan. Fortifikasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan nilai tambah suatu bahan makanan untuk memenuhi gizi seimbang. Fortifikasi awalnya dilakukan oleh hampir 137 Negara di Dunia. Fortifikasi berkaitan dengan pemenuhan gizi seimbang di dalam masyarakat. Selain itu, fortifikasi makanan muncul akibat kekurangan vitamin A yang terjadi di beberpa daerah diIndonesiayang diawali dengan adanya kasus kekurangan vitamin A yang menimbulkan penyakit kebutaan pada tahun 1960. umumnya, kasus kekurangan vitamin A muncul pada anak-anak dan ibu hamil/menyusu, karena hampir 15% kadar vitamin A pada anak-anak sangatlah rendah. Rendahnya vitamin A tersebut akan menimbulkan banyak penyakit seperti infeksi; diare, pernafasan akut, dan sebagainya. Kondisi ini jika berlangsung lama dapat menyebabkan kematian. Untuk mencegah ini semua sudah ada formulasi khusus yang ditawarkan oleh pemerintah yaitu pemberian kapsul vitamin A yang dikonsumsi oleh masyarakat setiap 2 kali dalam satu tahun, dan penggunaannya harus mengikuti ketentuan yang tertera karena kapsul ini memiliki dosis yang tinggi. Jika penggunaan kapsul ini tidak sesuai dosis yang dianjurkan, maka kemungkinan besar dapat menimbulkan keracunan. Dan upaya ini tidak hanya sebatas pemberian kapsul vitamin A saja, namun pemerintah juga terus meningkatkan upaya pemberian vitamin A yang difortifikasikan pada beberapa produk makanan mulai dari tahun 1980 sampai dengan sekarang.
            Di Benua Amerika, pemberian vitamin A yaitu dengan menambahkan gula pada beberapa jenis makanan yang sering dan umum dikonsumsi oleh masyarakatnya. Sedangkan di Indonesia tidak. Di Indonesia fortifikasi dilakukan yaitu dengan menitipkan vitamin A pada beberapa bahanbakumakanan seperti pada tepung terigu, dan bahan makanan lain. Namun saat ini yang sedang digalakkan oleh Yayasan Fortifikasi Nasional yaitu dengan menambahkan vitamin A pada minyak goreng terutama pada minyak goreng kelapa sawit, sedangkan minyak goreng kelapa dulu pernah difortifikasi dengan menggunakan vitamin A oleh Unilever pada tahun 1980, dan saat ini menutup kemungkinan tidak difortifikasi dengan vitamin A lagi pada minyak kelapa dengan alasan bahwa minyak kelapa sangat mahal dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Alasan lain bahwa minyak kelapa sekarang jarang beredar di perkotaan dan harganya relatif lebih mahal dibandingkan minyak kelapa yang diproduksi di industri minyak kelapa di daerah pedesaan. 70-80% masyarakatIndonesiasudah memakai minyak sawit. Juga pada tahun 1960 fortifikasi vitamin A ini pernah ditambahkan pada minyak merah (minyak yang berasal dari kelapa sawit mentah) dengan alasan pada minyak ini banyak mengandung beta karoten, namun lama kelamaan banyak kalangan yang tidak sepakat penambahan pada minyak merah ini karena mereka memberikan alasan bahwa makanan yang digoreng dengan minyak ini maka makanan akan menjadi berwarna merah dan adanya rasa pahit serta mengurangi kelezatan makanan.
            Umumnya fortifikasi vitamin A pada minyak goreng pada masyarakat dalam bentuk minyak curah dan minyak bermerek yang diedarkan oleh perusahaan minyak berskala besar. Untuk saat ini Yayasan Fortifikasi Nasional dan rencananya mulai tahun 2012 akan dibentuk suatu peraturan wajib tentang penambahan vitamin A pada makanan. sudah bekerjasama dengan lebih dari 20 perusahaan-perusahaan minyak goreng berskala Nasional. Selain itu, dari BPOM dan SNI saat ini fortifikasi sedang digalakkan (dalam proses) ke Departemen Industrilisasi, akan memberikan kewajiban kepada setiap produser perusahaan berskala industri.  Tujuan ini jelas yaitu untuk memberikan suplai vitamin A yang dititipkan pada minyak goreng, terutama minyak sawit. Sebenarnya selain terdapat pada minyak goreng yang difortifikasi oleh vitamin A, juga vitamin A ini banyak ditemukan pada buah-buahan dan sayur-sayuran segar serta pada beberapa jenis makanan hewani seperti; hati, daging, telur, dan sebagainya. Namun, pengetahuan tentang gizi seimbang seperti mengonsumsi buah masih jarang sekali dikonsumsi oleh orang-orang yang tinggal di desa (akibat faktor ekonomi yang rendah).
            Fortifikasi yang dilakukan pemerintah umumnya ada dua jenis, yaitu fortifikasi sukarela yang dilakukan oleh industri-industri seperti industri minyak goreng seperti di atas. Sedangkan fortifikasi sukarela yang diwajibkan oleh pemerintah yang didasarkan atas kebutuhan, misalnya kebutuhan untuk menghindari GAKI atau penyakit akibat kekurang iodium, maka dilakukan iodisasi garam, kemudian bisa penambahan/fortifikasi vitamin A tadi pada tepung terigu yang akan digunakan dalam pembuatan makanan seperti roti, mie, dan lain-lain. Selain vitamin A, fortifikasi pada produk makanan dapat berupa asam folat, vitamin B1, mineral Zn, dan sebagainya, tapi umumnya fortifikasi lebih ditekankan pada Vitamin A.
            Umumunya kegiatan fortifikasi dilakukan di beberapa daerah diIndonesiaseperti yang berpusat pada tempat-tempat kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat seperti posyandu dan puskesmas terutama untuk ibu hamil dan anak-anak. Yang sedang berjalan saat ini menunjukan data dasar dengan percobaan-percobaan yang dilakukan oleh pemerintah seperti pengukuran kadar vitamin A pada darah anak-anak, kemudian dilihat perbedaan yang mengonsumsi dan yang tidak, serta dicek berapa banyak kadar vitamin A pada darah setelah adanya fortifikasi ini.
            Lalu seberapa efektifkah fortifikasi vitamin A yang ditambahkan pada minyak goreng? Keefektifitasannya sangat terlihat. Terutama kegiatan fortifikasi ini juga pernah dilakukan oleh 137 negara Dunia dan menjadi pilihan yang istimewa, sedangkan di Indonesia juga sedang digalakkan dan pernah dicoba di beberapa daerah di Indonesia yaitu di Palembang (Sumsel) dan Makassar. Studi ini dilakukan pada sample anak-anak maupun ibu hamil. Setelah pemberian pada periode tertentu, kemudian dibandingkan antara sample yang diberikan fortifikasi vitamin A ini dengan yang tidak diberikan fortifikasi vitamin A ini. Yang diberikan perlakuan ternyata menunjukan peningkatan vitamin A pada darah, sedangkan yang tidak diberikan perlakuan ternyata tidak ada peningkatan. Sebagai contoh, kebutuhan vitamin A pada anak adalah 100%, namun kenyataannya anak hanya mengonsumsi vitamin A sebanyak 40%. Ini artinya bahwa anak masih membutuhkan 60% vitamin A dalam aktivitas hariannya. Kemudian untuk mencukupi kekurangan 60% vitamin A tersebut, maka anak tersebut dapat mengonsumsi  vitamin A untuk menutupi kekurangan tersebut. Anda juga perlu mengetahui bahwa vitamin A mudah rusak jika terpapar oleh suhu yang tinggi, penyimpanan yang lama, serta rusak akibat radiasi sinar matahari yang terlalu lama. Vitamin A ini akan rusak jika dipanaskan 3-4 kali (berkurang kadar vitamin A sekitar 50%), sedangkan jika lebih dari 5 kali pemanasan, maka vitamin A benar-benar rusak. Termasuk pada kasus minuman yang disimpan pada wadah yang terlalu lama, kemungkinan vitamin A dapat rusak lebih berat.
            Makanan yang mengandung gizi seimbang harus memenuhi empat kriteria penting di antaranya makanan harus beranekaragam sesuai kebutuhan, menjaga kebersihan makanan yang hendak dikonsumsi untuk menghindari beberapa penyakit yang tidak diinginkan, mencegah kegemukkan/kelebihan gizi yang biasanya ini dimonopoli oleh orang-orang konglomerat, serta menjaga berat badan agar tetap ideal (dari SD sampai dewasa). Karena kegemukan dan berat badan yang tidak ideal dapat memunculkan beberapa penyakit degeneratif seperti jantung, stroke, kanker, diabetes, dan sebagainya. Untuk mencegah semua penyakit-penyakit di atas sangatlah mudah yaitu dengan menempuh cara seperti aktif bergerak (berolahraga) serta menjaga kebersihan makanan dan lingkungan sekitar. Kelebihan dan kekurangan makanan tidak baik, jadi yang paling baik adalah menu makanan yang mengandung gizi seimbang.

Fortifikasi Pangan untuk Kesehatan

            Pemenuhan bahan pangan merupakan usaha yang mendasar bagi menusia. Pasalnya, manusia tidak bisa mempertahankan hidupnya tanpa pangan. Pengertian pangan sebagai hak asasi manusia ini tidak hanya bersifat kuantitatif saja, tetapi juga mencakup aspek kualitatif. 
Pangan yang tersedia haruslah pangan yang aman untuk dikonsumsi, bermutu dan bergizi. Dengan demikian pembicaraan tentang pangan memang pada kenyataannya sulit dipisahkan dengan gizi. Salah satunya dengan masalah fortifikasi. Fortifikasi merupakan upaya meningkatkan mutu gizi pangan dengan menambahkan satu atau lebih zat gizi mikro pada pangan. Sederhananya, fortifikasi merupakan pengayaan bahan makanan untuk meningkatkan kadar gizi pada manusia. 
            Fortifikasi merupakan hal yang penting bagi kesehatan, dan juga tumbuh kembang generasi mendatang. Seperti diketahui, kurangnya gizi yang dialami banyak anak di Indonesia bukan tidak mungkin akan mempengaruhi kesehatannya di masa mendatang, dan pada akhirnya bukan tidak mungkin akan menyebabkan terganggunya kualitas kesehatan generasi selanjutnya. 
Kekurangan gizi 
            Seperti diketahui, ada empat kekurangan gizi yang anyak ditemukan. Sebut saja protein, vitamin A, yodium, dan juga zat besi. Meskipun terkesan sepele, kekurangan keempat nutrisi tersebut memiliki dampak langsung ke kesehatan. Kekurangan zat besi, misalnya, dapat menyebabkan anemia. Selain menyebabkan anemia, kuranganya zat besi juga mnyebabkan tubuh lebih cepat terserang lemah, letih, dan juga lesu dalam beraktivitas. 
            Untuk mencegah masalah ini, makan diperlukan sebuah usaha yang disebut fortifikasi. Dengan cara menambahkan satu atau lebih fortifikan (zat gizi) kepada bahan makanan dan minuman yang dikonsumsi secara massal dan terus-menerus. Berbicara mengenai bahan pangan yang difortifikasi, beberapa bahan bisa dimunculkan dalam usaha menaikkan mutu gizi. Di antaranya garam, beras, gula, tepung terigu, dan minyak goreng. 
            Tidak heran memang, pasalnya bahan yang disebutkan tersebut merupakan bahan konsumsi utama yang digunakan masyarakat. 
            Sebut saja garam, banyak orang dapat berpuasa dari konsumsi gula, menyeruput teh manis, kue, dan lain-lain, tetapi garam sangat sulit dipisahkan di kehidupan sehari-hari. Berawal dari sanalah, agar bahan pangan di atas kaya akan gizi, maka ditambahkan zat gizi. Misalnya garam yang ditambahakan unsur yodium. 
            Bahan lainnya yang bisa difortifikasi adalah minyak goreng. Dengan menambahkan vitamin A pada minyak goreng, diharapkan kerusakan retina dan gangguan tumbuh kembang anak bisa dihilangkan. Diharapkan dengan fortifikasi ini, konsekuensi serius dari kekurangan zat pangan tersebut termasuk ketidakmampuan belajar secara baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan bahkan kematian, bisa dikurangi utnuk mendapatkan kualitas yang baik di segi kesehatan.
 3.Nutrifikasi
            Penambahan makronutrien kedalam makanan bukanlah merupakan konsep baru seperti halnya tepung terigu yang digunakan sebagai bahan pada pembuatan kue donat yang kaya akan karbohidrat tetapi miskin gizi protein untuk itu dilakukan nutrifikasi dengan menambahkan tepung telur ke dalam tepung terigu dalam pembuatan kue donat.ini akan menambahkan gizi protein pada kue donat.teknik nutrifikasi makanan dilakukan dengan cara penambahan makronutrien pada tingkat yang telah disarankan,dan dengan mudah dapat menyesuaikan dengan kebutuhan serta tingkat perkembangan ilmu gizi saat itu.
            Melalui nutrifikasi,restorasi,enrichment dan fortifikasi pangan yaitu secara individu bahan pokok atau produk pangan diberi tambahan mikronutrient yang diperlukan seperti vitamin,mineral, asam amino dan makronutrient seperti “protein”,sehingga dihasilkan makanan yang bergizi lebih tinggi dengan harga yang relative murah.
            Istilah nutrifikasi lebih tepat digunakan karena maksudnya jelas yaitu “to make nutritious” meningkatkan nilai gizinya.istilah ini lebih jelas bagi konsumen dari pada istilah-istilah lain yang “salah guna” seperti fortifikasi dan enrichment (Winarno.1997).
·         Produk Nutrifikasi
1.Kue donat
             Merupakan salah satu jenis makanan yang banyak di gemari dan terbuat dari tepung terigu yang diragikan dengan ragi roti dan di goreng.


Bahan: a.Tepung Terigu
            b.telur
            c.tepung telu
            d. gula pasir
            e.yeast (ragi)
            f.garam
proses pembuatan:
a.proses pengadukan
b.proses pengembangan adonan
c.proses fermentasi
d.penggorengan





v Cara Menjaga Gizi dalam Mengolah dan Menyimpan Makanan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan tanda-tanda kerusakan baik secara organoleptik maupun secara objektif. Di bawah ini beberapa kriteria bahan makanan yang dapat dipilih.
  • Serealia dan kacang-kacangan pilih yang kering, tidak ada kutu, tidak berlubang dan tidak bau apek.
  • Buah dan sayur, pilih sayur yang berwarna hijau, segar, tidak berlubang, sayur akar masih muda, sayur yang berwarna lebih terang.
  • Daging dan ikan, pilih ikan dengan mata yang masih bening, insang berwarna merah, sisik melekat kuat, daging masih kenyal, tidak ada aroma busuk dan lendir yang berlebihan.
  • Susu dan hasil olahan, pilih susu yang homogen, tidak menggumpal, tidak mengeras atau berlendir
  • Telur ayam bura, ras, itik, angsa, puyuh, dan penyu. Pilih telur dengan kulit masih utuh, tidak retak, tidak ada kotoran menempel.
  • Makanan kaleng atau makanan awetan, pilih makanan kaleng yang tanggal kadaluarsanya masih jauh, bentuk kaleng normal tidak cembung atau cekung, tidak penyok dan tidak karatan.
v Tujuan Peningkatan Kadar dan Mutu Gizi Pangan

·         Bahan dasar, utamanya yang baru dipetik akan tetap melaksanakan fungsi fisiologisnya antara lain seperti respirasi. Kegiatan yang sama seperti  masih melekat dengan induknya. Pemanenan akan menyebabkan suplai yang melalui penyerapan  akar terputus. Oleh karena itu akan cepat sekali rusak, yang dapat menyebabkan nilai gizinya berkurang. Laju proses kerusakan akan dapat cepat atau lambat, tergantung pada beberapa faktor. Kadar air yang tinggi pada bahan segar dinilai menyebabkan kerusakan yang cepat. Kandungan air yang tinggi akan memacu proses biologis yang dapat meneyebabkan kerusakan seperti pada sayuran dan daging. Berbeda dengan biji-bijian yang dalam keadaan kering akan tahan terhadap kerusakan, bahkan dapat disimpan sampai lebih daripada satu tahun.
·         Berbagai vitamin juga akan cepat rusak setelah dipanen, terutama vitamin C.  Vitamin A akan cepat teroksidasi, begitu pula @-tokoferol atau vitamin E. Vitamin D peka terhadap oksigen dan cahaya.
·         Proses pengolahan itu sendiri akan dapat mengurangi nilai gizi bila dibandingkan dengan keadaan segar. Makin banyak tingkat pengolahan nilai gizi akan semakin banyak berkurang. Demikian pula kalau makin lama diolah.
·         Jazat renik, kegiatan yang bersifat enzimatis, serta perubahan kimia dalam bahan hasil pertanian merupakan penyebab utama kerusakan. Jazat renik tetap dianggap merupakan penyebab susut utama, baik kualitas, maupun kuantitas  bahan hasil pertanian. Kegiatan enzimatis akan berlangsung pada kandungan air yang tinggi, serta suhu yang cocok untuk kegiatan suatu enzim. Reaksi kimia akan berlangsung pada kadar air yang tinggi.
·         Faktor suhu sangat penting dalam menyebabkan kerusakan pangan. Sesuai dengan hukum vant’ Hoff, bahwa kenaikan suhu 10 °C akan menyebabkan reaksi berlipat dua kecepatannya, tetapi akibat pengerusakannya bisa lebih, misalnya pada sayur dan buah-buahan  sampai 2,5 kali.
·         Berdasarkan pola pikir di atas, maka langkah awal dalam pengawetan, yang juga termasuk pengolahan bahan pangan hasil pertanian ialah memanipulasi keadaan sekitar agar tidak cocok untuk ketiga penyebab utama di atas.  Kadar air yang rendah akan diperoleh dengan pengeringan atau cara lainya yang akan ditulis kemudian.
·         Peningkatan nilai gizi bahan makanan dengan cara suplementasi dan fortifikasi dilakukan karena dua macam alasan. Yang pertama disebabkan karena bahan makanan tersebut secara alami defisien akan suatu zat gizi tertentu. Yang kedua adalah karena bahan makanan tersebut kehilangan suatu zat gizi akibat proses pengolahan. Selain alasan tersebut,  digunakan pula untuk meningkatkan konsumsi suatu zat gizi tertentu oleh masyarakat. Sebagai contoh, garam dapur yang mengandung iodium.
·         Akibat dari pemrosesan pangan yang lebih lanjut dapat mengurangi nilai gizi yang terkandung.  Salah satu cara untuk meningkatkan nilai gizi bahan makanan adalah melakukan penambahan (zat-zat) gizi yang defisien, misalnya protein, asam amino, lemak atau mineral, dan bahan makanan, kedalam bahan makanan tersebut sehingga kadarnya akan meningkat.

sumber# Mayla nanda eka putri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar